Search This Blog

Misteri Eksploitasi

SERINGKALI kita mendengar atau membaca bahwa kapitalisme itu jahat dan dengan demikian bermasalah. Atau sebaliknya, kapitalis itu baik dan dengan begitu tidak bermasalah. Dengan kritik bahwa kapitalis itu jahat dan karenanya musti dilawan bahkan sampai menyematkan kategori kapitalis kepada perilaku, proses, sosok, atau hal-hal yang secara moral tidak baik seperti korupsi, keserakahan, Abu Jahal, dan Buto Ijo; atau sebaliknya dengan cinta bahwa kapitalis itu mulia dan dengan begitu harus dibela bahkan dengan menyematkan kategori kapitalis kepada nabi atau sahabat nabi, mereka lupa bahwa kapitalisme seperti yang Marx pelajari dan tulis itu bukan sistem moral.

Dengan anggapan keliru bahwa kapitalisme ialah sistem moral dan kapitalis itu kategori moral, para penghujat kapitalisme akan begitu mudahnya jatuh ke haribaan dosa musyrik dengan memuja-muji orang yang dianggap jago kritiknya terhadap kapitalisme, dan sebaliknya para pecinta kapitalisme begitu mudahnya jatuh ke dalam dosa su’udzon terhadap orang yang sama: Karl Marx. Para penghujat kapitalisme yakin Marx itu Sisipus yang menanggung batu kemiskinan demi membawa terang ilahi tentang kapitalisme sebagai sistem yang jahat kepada umat manusia di bumi. Sebaliknya, para pecinta kapitalisme yakin Marx itu iblis yang lahir dari kemurkaan dan dendam datang ke hadirat kita untuk menutupi terang ilahi tentang kapitalisme sebagai satu-satunya sistem yang baik. Meski yang satu memuja dan yang lainnya memaki, kedua-duanya berada di dalam keranjang yang sama, yakni keranjang evaluasi moral atas Marx dan kapitalisme.

Salah satu perkara yang menjadi ujung pangkal evaluasi moral itu ialah ajaran Marx tentang eksploitasi.

Sewaktu Marx menulis adikarya Das Kapital, di benaknya tidak pernah terbersit secuilpun pikiran bahwa kapitalisme itu baik ataupun jahat. Justru sebaliknya, pikiran moralis yang menggelayut di benak dan mulut pemikir sosialis sebelumnya, ditentangnya habis-habisan sebagai utopis. Sosialis-sosialis pra-Marx seperti Prodhoun atau para pengikut David Ricardo, misalnya, mengutuki kapitalisme sebagai sistem yang jahat nan tidak adil karena kekayaannya kapitalis tak lebih dari nilai curian hasil jerih payahnya pekerja. Dengan semboyan heroik dan mengharukan bahwa “kepemilikan adalah pencurian”, Prodhoun, kata Marx, justru membenarkan kapitalisme di jantungnya sendiri. Apa pasal? Dengan menyatakan bahwa kepemilikan itu sejenis pencurian, dia mengakui keabsahan moral kepemilikan kapitalis karena pencurian tak punya arti lain selain mengambil hak milik orang lain secara tidak sah. Persoalannya, apa yang kapitalis ambil dari proses produksi, yakni nilai-lebih, ialah sesuatu yang sah baik secara moral apalagi secara hukum. Bukankah pekerja sendiri yang datang ke pabrik-pabrik menjual tenaga kerjanya untuk ditukar dengan upah? Bukankah lewat kesepakatan kontrak muka ketemu muka pekerja secara sah akan dapat sejumlah tertentu uang untuk kerja selama batas waktu tertentu dengan imbalan sejumlah tertentu upah? Tak ada satupun hal yang bisa meyakinkan kita bahwa kontrak itu tidak sah secara hukum. Tidak pula secara moral karena tak ada pihak yang memaksa dengan menodongkan senjata ke kepala pekerja untuk bekerja kepada kapitalis. Kerja sukarela dan kontrak hukum sah merupakan salah satu aspek penting kapitalisme sebagai sistem. Jadi, pertanyaan bukan apakah kapitalisme itu sistem yang didasarkan pencurian atau tidak, tapi bagaimana bisa kapitalisme itu sistem yang secara historis bisa menghasilkan kekayaan, baik nilai maupun barang-barang, begitu melimpah sembari membuat jurang kekayaaan dan kemiskinan begitu lebarnya. Kalaupun perlu ada tinjauan moral terhadap kapitalisme, maka titik berangkatnya mestilah dari penjelasan historis yang memungkinkan bekerjanya sistem ini serta batas-batas kemustahilannya.

Menurut Marx letak penjelasan itu, pertama-tama, ada di dalam apa yang disebutnya eksploitasi kapitalistik. Marx tak pernah mengartikan ‘eksploitasi’ sebagai kategori moral. Meski demikian, persoalannya, baik penghujat maupun pecinta kapitalisme, sampai saat ini sudah kadung menyematkan baju moral ke proses yang justru Marx lihat netral secara moral itu. Pertama-tama, untuk adanya produksi perlu ada sarana, objek, dan tenaga kerja. Untuk menjadi kapitalis, seorang kapitalis harus belanja bahan baku, sarana produksi, dan tenaga kerja. Di pasar, kapitalis bertransaksi dengan kapitalis lain untuk mendapatkan bahan baku dan sarana produksi. Di pasar juga, kapitalis bertransaksi dengan pekerja untuk mendapatkan tenaga kerja. Setelah transaksi beres, semua faktor-faktor produksi itu dihimpun dan diorganisir ke dalam proses produksi untuk menghasilkan komoditas baru. Sebelum dan selama proses produksi kapitalistik, transaksi di antara pihak-pihak yang terlibat didasarkan pada nilai yang mereka miliki masing-masing. Transaksi antara satu kapitalis dengan kapitalis lain ialah transaksi jual beli yang netral secara moral, tanpa tipu-tipu. Dengan asumsi yang sama pula, maka transaksi jual-beli tenaga kerja antara pekerja dan kapitalis juga ialah transaksi yang netral secara moral. Ketika proses produksi berakhir dan kapitalis mendapatkan komoditas barunya, dia akan menjualnya ke pihak lain supaya nilai yang terkandung di dalamnya bisa diubah kembali menjadi nilai murninya: uang. Di sini pun, seperti di babak praproduksi, transaksinya adalah jual-beli dan jual beli itu netral secara moral. Intinya, eksploitasi kapitalistik itu berada di dalam konteks transaksi suka sama suka berbasis pertukaran nilai yang sama lewat jual-beli. Karena landasannya yang transaksional, maka satu-satunya cacat moral yang mungkin terjadi, entah di antara kapitalis maupun antara kapitalis dan pekerja, ialah penipuan. Tapi, kata Marx, kapitalisme tak akan bertahan lama kalau didasarkan pada penipuan.

Bagaimana dengan eksploitasi? Di dalam ajarannya Marx, eksploitasi kapitalistik juga netral secara moral. Eksploitasi itu sekadar proses penciptaan nilai baru yang lebih dari nilai yang telah kapitalis keluarkan di dalam proses produksi. Di akhir proses produksi, nilai yang lebih dari total nilai yang kapitalis belanjakan sebelum produksi inilah yang dituju oleh semua kapitalis. Dengan kata lain, eksploitasi hanyalah sepenggal proses di dalam proses lebih panjang produksi komoditas. Nah, karena pekerja masuk ke dalam produksi kapitalis melalui gerbang transaksi jual-beli yang netral secara moral, bukan lantaran paksaan atau hasutan atau karena tipu-tipu, maka tidak ada yang tidak adil ketika kapitalis makin kaya dan pekerja tetap lebih miskin dibanding kapitalis karena memang kapitalis makin kaya berkat nilai lebih di akhir proses produksi yang memang adalah haknya sebagaimana halnya upah pekerja adalah hak pekerja.

Kalau terpaksa ditimbang secara moral, kapitalisme sebetulnya jauh lebih baik ketimbang sistem perbudakan atau feodalisme sebelumnya. Di jaman nabi-nabi, misalnya, budak-budak ditangkap, diambil dari kampung halamannya atau dari medan perang, di bawa ke pasar dan dijual sebagai barang. Setelah dibeli, hidup-matinya ditentukan oleh pemiliknya. Mereka kerja siang malam hanya diberi makan minum secukupnya, tanpa bisa tawar-menawar, tanpa bisa memilih bekerja di ladang ataukah dapur, bersama kafilah dagang atau pengangkut barang. Sekali menjadi budak, bukan hanya mereka, tapi anak-anak mereka juga niscaya menjadi budak tanpa bisa memilih.

Buat Marx, persoalannya bukan apakah eksploitasi kapitalis itu jahat atau baik, tapi bagaimanakah proses ini memungkinkan kapitalis makin kaya dan pekerja tetap lebih miskin dibanding kapitalis. Eksploitasi kapitalis tak lebih dari proses penciptaan nilai lebih. Kalau uang yang kapitalis belanjakan untuk memulai proses produksi kita pilah-pilah, kita bisa bagi ke dua pilahan. Sepilahan ialah nilai total untuk belanja sarana produksi dan bahan baku, sepilahan lainnya ialah nilai total untuk membayar upah pekerja. Kalau di akhir proses produksi hanya dihasilkan total nilai yang sama dengan total nilai untuk belanja, maka mereka akan berhenti jadi kapitalis. Tujuan kapitalis ialah mendapatkan nilai baru yang melebihi nilai total yang sudah dibelanjakan. Dari manakah nilai ini berasal? Bagaimanakah nilai baru ini tercipta? Apakah dari nilai sarana produksi dan bahan baku? Tidak. Karena nilai sarana produksi dan bahan hanya teralihkan ke nilai produk baru yang dihasilkan. Kalau begitu dari nilai total upah yang telah dikeluarkan? Tidak juga, karena nilai tenaga kerja hanya teralihkan ke nilai produk baru juga seperti halnya nilai sarana produksi dan bahan baku. Lantas dari mana dan mengapa bisa begini? Di sinilah duduk perkara eksploitasi kapitalis meski ditemukan.

Sebelum kapitalis ‘membeli’ tenaga kerja lewat transaksi jual-beli, ada yang ganjil dari watak ‘barang dagangan’ yang dimiliki pekerja itu. Meski diperlakukan sama, tapi tidak seperti barang-barang dagangan lainnya, tenaga kerja bukan benda, ia ‘tidak ada’ (atau lebih pasnya ‘tidak hadir’) sebagai sesuatu. Tenaga kerja itu potensi yang maujud hanya di dalam suatu proses, yang hadir hanya ketika ia dicurahkan oleh pemiliknya, yakni pekerja. Tenaga kerja hanya ada di dalam tubuh hidup pekerja sebagai potensi, dan secara historis itulah satu-satunya barang jualan pekerja berhadap-hadapan dengan kapitalis di pasar. Karena sekadar potensi, dan potensi itu kualitatif, maka tenaga kerja bisa dicurahkan banyak sedikitnya nyaris sesuka hati. Sesuka hati siapa? Pekerja? Tentu tidak, tapi sesuka hati pihak yang telah membelinya. Seperti semua pembeli, kapitalis boleh sesuka hatinya menggunakan barang yang telah dibelinya. Ketika kapitalis sudah membeli tenaga kerja lewat transaksi jual-beli, maka adalah haknya, baik secara moral maupun secara hukum, untuk menggunakan tenaga kerjanya ini sesuka hatinya. Kalau kapitalis menghendaki pekerja mencurahkan tenaga kerja sampai curahan itu menghasilkan nilai yang setara dengan nilai yang sudah kapitalis bayarkan untuk membeli tenaga kerja, maka kapitalis tidak akan mendapatkan nilai tambahan karena nilai tenaga kerja hanya dialihkan dari pekerja ke nilai produk akhir. Karena tujuan kapitalis bukanlah untuk mempekerjakan si pekerja agar si pekerja bekerja, tapi mempekerjakan pekerja untuk mendapatkan nilai tambahan atau nilai yang lebih dari nilai belanja produksinya, maka mereka akan mewajibkan pekerja terus mencurahkan tenaga kerjanya setelah curahan tenaga kerja itu menghasilkan nilai yang setara dengan nilai tenaga kerja yang sudah dibayarkan. Kewajiban pekerja untuk terus bekerja sampai batas waktu tertentu juga adalah hak kapitalis yang sah secara moral maupun hukum sebagai pemilik tenaga kerja yang telah dijual kepadanya itu lewat transaksi jual-beli sukarela. Nilai yang dihasilkan oleh curahan tenaga kerja yang melampaui nilai tenaga kerja inilah yang disebut nilai-lebih. Inilah tujuan semua kapitalis, dan nilai ini mereka dapatkan dengan sah baik secara moral maupun hukum.

Sekali lagi, tak ada yang curang dalam eksploitasi kapitalis. Tak ada pula misteri dari ketimpangan yang dihasilkan oleh eksploitasi berbasis relasi produksi kapital dan kerja. Kapitalis berhak atas nilai lebih seperti halnya pekerja berhak atas upah. Lantas, kalau tak ada persoalan moral di dalam eksploitasi kapitalis, apa yang membuat Marx, orang yang menemukan adanya sistem eksploitasi kapitalis itu, dianggap sebagai pejuang atau malah perusak moral lantaran dia mengkritik sistem kapitalisme tempat eksploitasi macam itu ada?

Buat Marx, tak jadi soal apakah kapitalis membayarkan upah sebelum keringat pekerjanya mengering atau masih basah. Yang jadi soal baginya ialah bagaimana menjelaskan kok bisa sistem yang adil semacam ini memproduksi ketimpangan sosial begitu brutal. Dan itu bisa jadi ada di balik sistem upah kapitalis yang bagi sebagian dari kita sudah terang benderang, tapi buat Marx tidak seterang apa yang diterangkan Disnaker atau serikat buruh kepada pekerja.

No comments:

Post a Comment

komentar

Ke Mana Semua Kekuasaan Menghilang ?

Bidang politik pun semakin banya ilmuan yang meng-interprestasikan struktur politik manusia sebagai sistem pemprosesan data. Sebagai mana ...