Search This Blog

Antara Bahasa, Semiotika, Sastra dan Filsafat


Hasil gambar untuk Antara Bahasa, Semiotika, Sastra dan Filsafat
Setiap orang membutuhkan sarana untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran atau gagasan-gagasannya. Sarana yang ia butuhkan adalah bahasa. Begitu banyak bahasa yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat untuk berkomunikasi. Bahasa menjadi alat yang dipakai manusia untuk memahami, menjembatani, dan mengkomunikasikan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan manusia.

Seorang ahli bahasa, Harry Hoijer, mengatakan bahwa, “ Bahasa itu bukannya merupakan sekedar teknik komunikasi: ia adalah suatu cara untuk mengarahkan persepsi pembicara-pembicara dan menyediakan bagi mereka cara-cara yang biasa untuk menganalisa pengalaman ke dalam kategori-kategori penting.” Besar kecilnya peran bahasa dalam mengarahkan sudut pandang si pembicara atau aktivis bahasa, tergantung pada seberapa besar keinginannya dalam menyampaikan maksud dan tujuannya.

Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya berupa urutan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya non-empiris. Dengan demikian, bahasa adalah sistem simbol (yang dapat juga disebut dengan semiotika) yang memiliki makna, merupakan alat komunikasi manusia, penuangan emosi manusia serta merupakan sarana pengejawantahan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam mencari hakikat kebenaran hidup manusia.

Melalui simbol-simbol yang sulit dijelaskan dalam kebahasaan, maka terciptalah semiotik. Semiotik seperti yang diungkapkan oleh Rachmat Djoko Pradopo (2009:121) yaitu bahwa bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna cat sebelum digunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa sedangkan kata-kata (bahasa) sebelum dipergunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa) atau ditentukan oleh konvensi-konvensi masyarakat. Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvensi (perjanjian) masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut dengan semiotik. Begitu pula ilmu yang mempelajari sistem tanda-tanda itu disebut semiotika.

Sastra adalah hasil karya cipta manusia yang mengandung nilai-nilai estetika. Karya sastra merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi sastra. Karena sastra merupakan sistem tanda tingkat kedua. Dalam sastra, konvensi bahasa disesuaikan dengan konvensi sastra, sehingga timbul arti baru yaitu arti sastra. Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti, untuk membedakan arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama disebut meaning dan arti sastra disebut makna (significance). Arti dari arti yang terdapat dalam karya sastra ini lah yang kemudian disebut semiotika.
Preminger (1974, via pradopo,1995:122) mengungkapkan bahwa studi semiotik sastra adalah usaha menganalisis sistem tanda. Melalui studi ini, ditemukan dan ditentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.

Sama halnya dengan sastra, fisafat adalah hasil pemikiran manusia yang mendalam mengenai realitas, yang mengandung kedalaman arti. Berdasarkan dalamnya makna yang terkandung dalam filsafat, maka bahasa boleh dikatakan sebagai laboratorium filsuf dalam menguji konsep pemikirannya. Berdasarkan banyaknya cabang yang dilahirkan filsafat, yang justru membuat para filsuf terperangkap dalam kekacauan filsafati sebab seringkali filsuf menggunakan bahasa atau istilah-istilah dalam bahasa, dengan arti yang khusus, yang berbeda pengertian dengan yang biasa dipakai oleh kebanyakan orang.

Menanggapi masalah yang sedemikian rumit dalam filsafat, maka pada abad ke XX, George Edward moore, Betrand Russel dan Ludwig Wittgeinstein pun memproklamirkan aliran baru dalam filsafat, yaitu filsafat bahasa. Filsafat bahasa adalah suatu penyelidikan yang intensif terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat, sehingga dapat dibedakan pernyataan filsafat yang mengandung makna (meaningful) dengan yang tidak bermakna (meaningless). Aliran filsafat bahasa ini mengemukakan pemikiran yang berkenaan dengan masalah arti atau semantik.
Mempelajari bahasa adalah menjadi syarat mutlak dalam membicarakan masalah-masalah filsafat, karena bahasa merupakan alat dasar dan utama untuk berfilsafat. Bahasa adalah bersifat alamiah (fisesi), yang berarti bahwa bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul. Kaum naturalis dengan tokohnya Cratylus dalam dialog Plato mengatakan bahwa, semua kata pada umumnya mendekati benda yang ia tunjuk, jadi ada hubungan antara komposisi bunyi atau tanda dengan apa yang dimaksud.

Berdasarkan besarnya pengaruh makna dan tanda bagi kedua disiplin ilmu yang berbeda inilah (sastra dan filsafat), maka tak salah jika menyandingkan keduanya sebagai sepasang saudara yang lahir dari pasangan bahasa dan semiotika.

penulis :Hindah Sumaiyah

No comments:

Post a Comment

komentar

Ke Mana Semua Kekuasaan Menghilang ?

Bidang politik pun semakin banya ilmuan yang meng-interprestasikan struktur politik manusia sebagai sistem pemprosesan data. Sebagai mana ...