Search This Blog

Batalkan Saja Niatmu Mendaki Gunung Jika Kamu Masih Melakukan Hal-Hal Ini

Hasil gambar untuk Batalkan Saja Niatmu Mendaki Gunung Jika Kamu Masih Melakukan Hal-Hal Ini
Gunung memang punya daya tarik yang magis. Mereka yang pernah berlelah-lelah menyusuri jalur pendakian selalu kangen untuk kembali mendaki. Siapa sih yang gak terpikat dengan panorama cakrawala di puncaknya? Apalagi pemandangan matahari yang mengintip malu di awal pagi, dengan awan di bawah kaki kita. Sungguh pengalaman yang luar biasa.

Sayangnya, keindahan gunung ini ternoda oleh ulah sebagian pendaki yang memilih untuk gak peduli pada kewajiban menjaga alam. Padahal, di atas sana kita hanyalah tamu. Nah, kalau kamu masih melakukan hal-hal berikut ini di atas sana, lebih baik introspeksi motivasimu atau sekalian batalkan aja deh niatmu mendaki gunung.

1. Gunung bagimu bukan titipan Tuhan yang harus dijaga, melainkan tempat sampah raksasa.

Pemandangan tumpukan sampah di atas gunung jelas bikin hati miris. Coba bayangkan kalau rumahmu kedatangan banyak tamu, lalu mereka nyampah sembarangan dan mengotori tempat tinggalmu. Sedih, ‘kan? Kamu mungkin masih bisa membersihkan rumahmu. Tapi, gunung gak bisa membersihkan dirinya sendiri. Untungnya masih ada pendaki yang sadar dan peduli, lalu memunguti sampah yang ada meski itu bukan miliknya.

Jangankan di atas gunung, jika sehari-hari kamu masih terbiasa buang sampah sembarangan, mending urungkan niatmu mendaki gunung, deh. Sebagai tamu, kamu punya kewajiban untuk peduli. Lagipula, apa susahnya memanggul turun sekantong sampah jika kamu bisa membawanya naik?

2. Walau sebenarnya bisa siap-siap sendiri, kamu selalu mengandalkan temanmu untuk mempersiapkan berbagai keperluan mendaki.

Teman mendaki itu hadir untuk saling membantu agar kita sama-sama bisa menjejakkan kaki ke puncak dengan selamat. Tapi, kamu juga gak boleh selalu mengandalkan mereka. Ingat, kalian adalah tim. Kontribusi kalian mestilah seimbang sesuai kemampuan. Apalagi kondisi di atas gunung itu gak bisa diprediksi dan kamu hanya akan menyusahkan mereka jika gak mau mandiri. Kalau kamu masih suka mengandalkan yang lain buat “mengasuh” kamu, jangan harap mereka mau naik gunung lagi sama kamu.

3. Di dalam tasmu, kamu sengaja bawa cat semprot dengan niat menorehkan namamu di atas gunung.

Selain sampah, hal yang paling menyebalkan saat berada di atas gunung adalah melihat coret-coret hasil vandalisme yang seringkali kita temukan di permukaan batu, pohon, maupun papan penunjuk arah. Mirisnya lagi, sebagian coretan itu mengatasnamakan kelompok pecinta alam tertentu.

Tolong deh, tinggalkan sifat kekanak-kanakanmu itu sebelum mendaki. Alih-alih dikagumi, yang ada malah kamu dirutuki oleh pendaki lainnya. Apa urusan mereka untuk tahu kalau kamu pernah mendaki gunung itu? Apakah namamu atau dirimu begitu menginspirasinya bagi pendaki-pendaki yang lain? Aduh, pendaki legendaris macam Soe Hok Gie aja nggak bawa botol semprot ke atas gunung. Memajang foto dan mencoret-coret blog pribadi dengan cerita pendakianmu jauh lebih bermakna bagi pendaki lainnya dibanding coretan isengmu di atas gunung.

4. Kamu menganggap edelweiss souvenir yang boleh dibawa pulang. Padahal, memetik tanaman gunung adalah sebenar-benarnya pantangan.

Banyak yang tergoda untuk memetik bunga abadi ini untuk dijadikan oleh-oleh. Jika masih beranggapan seperti ini, kamu belum layak menjadi pendaki gunung. Jangankan membawa pulang, memetik bunga ini dari pohonnya itu adalah tindakan ilegal. Emangnya kamu mau disuruh naik ke atas lagi oleh pengawas buat mengembalikan bunga ini?

Lagian, bunga ini sama sekali gak menarik untuk dipajang di kamar, kok. Serius. Edelweis—maupun tumbuhan endemik dan benda unik lain yang ada di atas gunung—akan terlihat indah jika mereka tetap berada di tempatnya dan bisa dinikmati oleh pendaki yang melewatinya.

5. Bagimu, sah-sah aja membabat dahan dan ranting pohon untuk membuat api unggun.

Menghadapi udara dingin di atas gunung, membuat api unggun memang cara paling ampuh untuk menghangatkan badan. Tapi, kalau gak benar-benar perlu, gak usahlah bikin api unggun segala. Kamu bisa menyiasati suhu yang dingin lewat aklimatisasi dan minum minuman hangat.

Kalau kamu memang memerlukan api, ambil ranting-ranting kering yang jatuh sebagai bahan api unggun dan buatlah di tempat yang lapang, jauh dari vegetasi. Jangan sekali-sekali membabat dahan dan ranting yang masih menempel di pohon untuk bikin api jika tidak benar-benar terpaksa—kebutuhan untuk bertahan hidup, misalnya.

6. Kamu menyamakan sumber air di gunung dengan toilet umum.

Panggilan alam memang susah ditahan. Tapi, sebelum kamu menuntaskannya di atas gunung, tolong banget, ubah anggapanmu bahwa sumber air di gunung sama dengan toilet umum.

Sekalipun mengalir, sumber mata air itu bukan tempat buang air, cebok, dan bersih-bersih. BUKAN! Sumber mata air di gunung itu gak banyak, dan fungsinya vital banget buat keperluan masak dan minum. Emangnya kamu mau minum air bekas cebokmu? Enggak, ‘kan?

7. Hanya demi menghindari retribusi, kamu memilih jadi mendaki sembunyi-sembunyi. Padahal ini demi keamananmu sendiri.

Mendaftarkan diri dan perlengkapan ke petugas di basecamp pendakian bukan sekadar urusan admisnistratif, tapi juga demi keselamatan kamu. Dengan mendaftarkan dirimu saat hendak mendaki, petugas mengetahui siapa saja yang mendaki sehingga mereka pun bisa melakukan pengawasan. Jadi, kalau terjadi sesuatu pada kamu, mereka juga bisa segera bertindak.

Coba bayangkan jika kamu jadi pendaki ilegal dan hilang di gunung. Wah, bisa-bisa gak ketemu sampai bulan depan!

8. Kamu gak memedulikan aturan saat mendaki gunung tertentu. Yang penting muncak!

Aturan yang ada saat mendaki—baik tertulis maupun tidak tertulis—dibuat demi keamanan dan keselamatan kita sendiri. Kadang emang ada peraturan yang gak logis. Tapi, toh gak ada salahnya ditaati. Ingat, kita cuma tamu, lho.

Nah, kalau kamu masih suka melanggar—misalnya bikin jalur ilegal padahal udah dilarang, sebaiknya kamu stop dulu naik gunung. Perbuatan sembrono bukan hanya mengancam keselamatanmu, tapi juga rekan-rekan satu timmu.

9. Kamu masih terlalu egois saat mendaki dan meninggalkan temanmu di belakang.

Mendaki itu gak semata sampai di puncak, melainkan sampai di puncak bersama-sama dan pulang dengan selamat. Oke, mungkin kamu tangguh, bisa terus melangkah sambil menggotong keril yang berat. Tapi, pikirkan juga rekan-rekanmu, karena kemampuan fisik orang berbeda-beda. Keselamatan anggota tim adalah tanggung jawab bersama.

Kalau kamu masih suka jalan duluan di depan dan gak mempedulikan temanmu yang ada di belakang, berarti  kamu belum pantas mendaki gunung. Ingat, mendaki gunung adalah proses menaklukkan diri sendiri, termasuk ego yang kamu miliki.

10. Kamu menganggap remeh sebuah pendakian dan gak melakukan persiapan yang matang.

Nah, ini yang paling penting. Sebuah pendakian gak boleh kamu pandang remeh, meskipun karanya gunung itu ramah untuk pendaki pemula. Modal fisik yang kuat aja belum cukup. Kamu juga mesti mengetahui seperti apa medan yang akan dilalui, dan perlengkapan apasaja yang diperlukan. Lalu, jangan lupa berolahraga beberapa minggu sebelum pendakian.

Terutama, untuk pendaki pemula, penting banget melakukan persiapan jauh-jauh hari. Camkan bahwa kondisi gunung itu gak bisa diprediksi. Lebih baik bersiap-siap daripada celaka di atas sana, ‘kan?

Mendaki gunung adalah pelajaran yang menyenangkan dan berharga, tentunya jika kita ikut menjaga diri dan lingkungan di atas sana. Gunung adalah milik bersama yang keindahannya boleh dinikmati semua orang. Jadi, kalau kamu masih mau jadi pendaki sembrono dan angkuh, mendingan urungkan niatmu mendaki deh.

Epistemologi Pemikiran Rene Descartes.


Hasil gambar untuk Epistemologi Pemikiran Rene Descartes.

Epistemologi merupakan pembicaraan mengenai bagaimana sebuah ilmu pengetahuan diperoleh. Dalam perjalanannya mencari kepastian, Descartes telah menemukan metode tersendiri. Yaitu dengan cara meragukan semua yang dapat diragukan. Kesangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Ia meragukan segala ilmu dan hasil-hasilnya seperti adanya kosmos fisik, termasuk badannya, dan bahkan adanya Tuhan. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk mendukung keragu-raguannya ini adalah kemungkinan kekeliruan panca indra, kemungkinan ia sedang mimpi, dan adanya demon jahat penipu. Ia seolah-olah bersikap sebagai seoarang skeptikus. Dan, memang pada saat itu, ajaran skeptisisme, sebagaimana dikenal dalam karya Sextus Empirious, agak menjadi populer. Menurut Descartes, untuk dapat memulai sesuatu yang baru, ia harus memiliki suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal yang pasti itu dapat ditemukan lewat keragu-raguan.

Ciri utama dari filsafatnya adalah penekanan yang ia sangat menggarisbawahi pada kenyataan bahwa satu hal kita sebagai manusia seluruhnya dapat merasa seyakin-yakinnya, –bahkan oleh orang yang mengalami keraguan yang amat sekalipun—adalah “keberadaan dirinya sendiri”. Cogito, Ergo sum ( I think, therfore I am ). Seluruh sistem filsafatnya disusun untuk menghindarkan atau menjauhkan diri dari sifat ragu-ragu yang ditimbulkan dari dirinya sendiri. Sistem filsafatnya dipersembahkan untuk menguji bagaimana sesungguhnya seseorang dapat memahami segala apa yang ada di luar dirinya (outside); bagaimana membangun kembali fondasi yang kokoh untuk sebuah keyakinann yang dapat dipertanggungjawabkan tentang hal-hal yang ada pada dunia di luar fondasi yang kokoh untuk kepercayaan terhadap adanya Tuhan. Dia juga menunut bahwa kepercayaan kita sesungguhnya dimulai dari –seperti yang biasa berjaln dalam sistem berfikir deduktif dalam wilayah matematika—dari premis-premis aksiomatik tertentu, yang secara intuitif bersifat “pasti”, dan dari sana secara perlahan-lahan –lewat pengambilan kesimpulan deduktif–  ke arah kesimpulan-kesimpuln yang dapat dibuktikan secara meyakinkan dan kokoh.

 Descartes menganggap benar bahwa segala pengetahuan bersumber dari rasio manusia. Bahwa tidak ada satupun hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia asalkan manusia mau menggunakan nalarnya. Descartes ingin mendapatkan kebenaran yang benar-benar benar sehingga kebenaran tersebut tidak dapat lagi dibantahkan ataupun diragukan. Oleh karena itu, Descartes memulainya dengan meragukan segala sesuatu yang diterimanya dari luar melalui indera karena menurutnya ada kalanya indera menipu kita. Bahkan keberadaan dirinya sendiri pun diragukannya juga karena menurutnya terkadang semua pemikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur sehingga dia tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah dia sedang bermimpi atau tidak. (Descartes, 1995, hal 34).

Pada akhirnya Descartes menemukan bahwa meskipun segala sesuatu dapat diragukannya, satu hal yang tidak dapat diragukannya adalah fakta bahwa dia sedang ragu-ragu. Descartes menemukan fakta bahwa dia sedang ragu-ragu adalah fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapapun atau apapun juga. Jika dia sedang ragu-ragu, maka hal itu berarti membuktikan bahwa dia sedang berpikir. Jika dia tahu bahwa dia sedang berpikir, maka haruslah ada sang pemikir, yaitu dirinya sendiri. Jika pemikir harus ada, maka dirinya pun harus ada. Bahkan ketika dia membayangkan seolah-olah dirinya sama sekali tidak memiliki badan dan tidak ada dunia ataupun ruang tempat dia berada, hal itu justru membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa dia ada. Hal ini kemudian menjadi aksiomanya yang paling terkenal, “cogito ergo sum” yang artinya “saya berpikir, maka saya ada”. Akhirnya, hal ini menjadi prinsip pertama dari filsafatnya. Hal ini dijelaskannya dalam bukunya Risalah tentang Metode.

Pengetahuan-pengetahuan yang harus diragukan dalam hal ini adalah berupa: segala sesuatu yang kita didapatkan di dalam kesadaran kita sendiri, karena semuanya mungkin adalah hasil khayalan atau tipuan; dan segala sesuatu yang hingga kini kita anggap sebagai benar dan pasti, misalnya pengetahuan yang telah didapatkan dari pendidikan atau pengajaran, pengetahuan yang didapatkan melalui penginderaan, pengetahuan tentang adanya benda-benda dan adanya tubuh kita, pengetahuan tentang Tuhan, bahkan juga pengetahuan tentang ilmu pasti yang paling sederhana.

Menurut Descartes, satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah eksistensi dirinya sendiri; dia tidak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada; dia berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal karena apabila kita menyangkalnya berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi performatis. Dengan kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku, pikiranku yang kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan. Kebenaran tersebut bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-pilah atau dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya yang cukup terkenal, “cogito, ergo sum”, aku berpikir maka aku ada.

Filsafat Analitika dan Perkembangannya


Hasil gambar untuk Filsafat Analitika dan Perkembangannya

Perhatian filosof terhadap bahasa semakin besar. Mereka sadar bahwa dalam kenyataannya banyak persoalan-persoalan filsafat, konsep-konsep filosofis akan menjadi jelas dengan menggunakan analisis bahasa. Tokoh-tokoh filsafat analitika bahasa hadir dengan terapi analitika bahasanya untuk mengatasi kelemahan kekaburan, kekacauan yang selama ini ada dalam berbagai macam konsep filosofis.

Secara etimologi kata analitik berarti investigative, logis, mendalam, sistematis, tajam dan tersusun. Beberapa pengertian tentang filsafat analitik secara terminologi yaitu:

Menurut Rudolph Carnap, filsafat analitik adalah pengungkapan secara sistematik tentang syntax logis (struktur gramatikal dan aturan-aturannya) dari konsep-konsep dan bahasa khususnya bahasa ilmu yang semata-mata formal.

Roger Jones menjelaskan arti filsafat analitik bahwa baginya tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat bahwa itulah yang dilakukan oleh para filosof analitik.

Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan, atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan. Yang pokok bagi filsafat analitik adalah pembentukan definisi baik yang linguistik atau nonlinguistik nyata atau yang konstektual.

Filsafat Analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa.

Selanjutnya perkembangan filsafat setidaknya terdapat empat fase perkembangan pemikiran filsafat, sejak munculnya pemikiran yang pertama sampai dewasa ini, yang menghiasi panggung sejarah umat manusia. Pertama, kosmosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan alam sebagai objek pemikiran dan wacana filsafat, yaitu yang terjadi pada zaman kuno. Ikedua, teosentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan Tuhan sebagai pusat pembahasan filsafat, yang berkembang pada zaman abad pertengahan. Ketiga, antroposentris yaitu fase pemikiran filsafat yang meletakkan manusia sebagai objek wacana filsafat, hal ini terjadi dan berkembang pada zaman modern. Keempat, logosentris yaitu fase perkembangan pemikiran filsafat yang meletakkan bahasa sebagai pusat perhatian pemikiran filsafat dan hal ini berkembang setelah abad modern sampai sekarang. Fase perkembangan terakhir ini ditandai dengan aksentuasi filosof pada bahasa yang disadarinya bahwa bahasa merupakan wahana pengungkapan peradaban manusia yang sangat kompleks itu


Perhatian filsafat terhadap bahasa sebenarnya telah berlangsung lama, bahkan sejak zaman Pra Sokrates, yaitu ketika Herakleitos membahas tentang hakikat segala sesuatu termasuk alam semesta. Bahkan Aristoteles menyebutnya sebagai “para fisiologis kuno” atau ‘hoi arkhaioi physiologoi’. Seluruh minat herakleitos terpusatkan pada dunia fenomenal. Ia tidak setuju bahwa di atas dunia fenomenal ini, terdapat ‘dunia menjadi’ namun ada dunia yang lebih tinggi, dunia idea, dunia kekal yang berisi ‘ada’ yang murni. Meskipun begitu ia tidak puas hanya dengan fakta perubahan saja, ia mencari prinsip perubahan. Menurut Herakleitos, prinsip perubahan ini tidak dapat ditemukan dalam benda material. Petunjuk ke arah tafsiran yang tepat terhadap tata kosmis bukanlah dunia material melainkan dunia manusiawi, dan dalam dunia manusiawi ini kemampuan bicara menduduki tempat yang sentral. Dalam pengertian inilah maka medium Herakleitos bahwa “kata” (logos) bukan semata-mata gejala antropologi. Kata tidak hanya mengandung kebenaran universal. Bahkan Herakleitos mengatakan “jangan dengar aku”, “dengarlah pada sang kata dan akuilah bahwa semua benda itu satu”. Demikian sehingga pemikiran yunani awal bergeser dari filsafat alam kepada filsafat bahasa yang meletakkan sebagai objek kajian filsafat


Filsafat bahasa mulai berkembang pada abad ke 20 dengan telaah analitik filosofik Wittgenstein tentang bahasa. Noam Chomskylah yang pertama-tama mengangkat bahasa sebagai disiplin linguistic. Grice dan Quinelah yang mengangkat meaning sebagai intensionalitas sipembicara dan meaning dalam konteks kejadiannya. Davidson lebih lanjut mengetengahkan tentang struktur semantik, untuk memahami bahasa, termasuk unsur-unsurnya dan mengembangkan tentang interpretasi yang dapat berbeda antara si pembicara dan yang dibicarakan. Frege lebih lanjut mengembangkan konsep tentang referensi. Ekspresi bahasa bukan hanya representasi of mine, tetapi juga mengandung referensi, yaitu hal-hal yang relevan dengan pernyataan yang ditampilkan

Pada dasarnya perkembangan filsafat analitika bahasa itu meliputi tiga aliran yang pokok yaitu ‘atomisme logis’ (logical atomism), ‘Positivisme logis’ (logical empirism), dan ‘filsafat bahasa biasa’ (ordinary language philosophy)

Filsafat analitik adalah suatu gerakan filosof Abad ke 20, khususnya di Inggris dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatiannya pada bahasa dan mencoba menganalisa pernyataan-pernyataan (konsep-konsep, ungkapan-ungkapan kebahasaan atau bentuk-bentuk yang logis) supaya menemukan bentuk-bentuk yang paling logis dan singkat yang cocok dengan fakta-fakta atau makna-makna yang disajikan.



Sumber : filsafat-ilmu

Filsafat Cinta


Hasil gambar untuk Filsafat Cinta

Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. namun supaya tulisan ini terbatas, meskipun saya tidak akan membatasasi dalam pembahasan melalui kisah cinta itu mulanya di pertanyakan, ini hanya sekedar definisi dari sekian banyak pembahasan yang coba diterangkan oleh para ahli yang pada ahirnya juga belum cukup. Ibnul Qayyim, misalnay mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)
Hakikat Cinta.

Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya? Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?” Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja,dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)”. Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya”

Gurunya kemudian menjawab ” Jadi ya itulah cinta”

Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya,”Apa itu perkawinan?Bagaimana saya bisa menemukannya?”

Gurunya pun menjawab “Ada hutan yang subur didepan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang segar/subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.

Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?” Plato pun menjawab, “sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya”

Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan”
Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia.

Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. 

ketika membaca buku “Secret of Power Negotiating” misalnya, di dalam buku itu, Roger Dawson menulis,”apakah lawan CINTA itu adalah BENCI ??” , Tidak !! katanya, Lawan CINTA itu adalah KETIDAKPEDULIAN…

Bagi seorang Pecinta, kebencian dari sang kekasih itu lebih berharga dari pada KETIDAKPEDULIAN dari yang dicintainya…

hati seorang pecinta..
lebih memerlukan kepedulian dari yang dicintai..
dari pada ketidak peduliannya..
baikpun kepedulian itu berwujud kasih sayang yang dicintainya…
ataupun kepedulian itu berwujud amarah dan bencinya…

“Jika kamu tidak bisa mendekatiNya melalui Kasih SayangNya, maka dekatilah ia melalui rasa marahNya”

ASUMSI-ASUMSI INTERAKSIONALISME SIMBOL

Hasil gambar untuk ASUMSI-ASUMSI INTERAKSIONALISME SIMBOL

Self Indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna dan memikirkan untuk bertindak berdasarkan makna itu. Bagi Blummer interaksionalisme simbolik bertumpu pada tiga premis;
  • Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
  • Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain
  • Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial berlangsung.


Dari ketiga premis tersebut dapat dimaklumi apabila bagi teori ini, konsep individual, interaksi dan interpretasi merupakan tiga terminologi kunci dalam memahami kehidupan sosial.

Cara lain untuk mengatakan hal ini ialah, bahwa simbol signifikan adalah suatu makna yang dimengerti bersama. Hal itu dikembangkan melalui interaksi, yang pada dirinya merupakan persoalan manusia yang berusaha untuk mencapai hasil-hasil praktis dalam kerjasamanya satu sama lain. Mead, melukiskan suatu keintiman antara dua orang dimana kedua orang itu mengembangkan suatu bahasa yang hampir bersifat pribadi dalam proses kegiatan-kegiatan mereka sehari-hari tetapi untuk Mead hal ini adalah suatu proses sosial yang umum. Interaksi sosial menghasilkan makna-makna dan makna-makna membentuk dunia kita. Ada suatu pengertian dimana kita menciptakan dunia kita dengan memberikan makna terhadapnya : sepotong kayu adalah sepotong kayu. Dalam kegiatan harian kita hal itu menjadi sebuah meja. Kata “meja” berarti peran yang dimainkannya dalam interaksi kita : sesuatu yang menjadi tempat makanan, tempat bekerja, sebagai penghalang untuk melawan juru-sita. Makna-makna sedemikian berubah dan berkembang dan ketika hal itu terjadi duniapun berubah dan berkembang.

Fungsi bahasa atau simbol yang singnifikan pada umumnya adalah menggerakkan tanggapan yang sama dipihak individu yang berbicara dan juga dipihak lainnya. Dengan mengadopsi orientasi aliran pragmatis ini, mead juga melihat “fungsi” isyarat pada umumnya dan simbol signifikan pada khususnya.

Fungsi isyarat adalah “menciptakan peluang diatara individu yang terlibat dalam tindakan sosial tertentu dengan mengacu pada objek atau objek-objek yang menjadi sasaran tindakan itu “. Dengan demikian muka cemberut yang tak disengaja mungkin dibuat untuk mencegah seorang anak kecil terlalu dekat ke tepi jurang dan dengan cara demikian mencegahnya berada dalam situasi yang secara potensial berbahaya. Sementara isyarat non signifikan bekerja, “ simbol yang signifikan memberikan kemudahan jauh lebih besar untuk menyesuaikan diri dan penyesuain-diri-kembali (readjustment) ketimbang yang diberikan isyarat non signifikan, karena simbol signifikan menggerakan sikap yang sama dalam diri individu. Dan memungkinkan individu itu menyesuaikan prilakunya berikutnya dengan prilaku orang lain dalam hal sikap. Singkatnya, isyarat percakapan yang disadari atau yang signifikan adalah mekanisme yang jauh lebih memadai dan efektiv untuk saling menyesuaikan diri dalam tindakan sosial ketimbang isyarat percakapan yang tak disadari atau yang tak signifikan.

Yang sangat penting dari teori Mead ini adalah fungsi lain simbol signifikan yakni memungkinkan proses mental, berfikir. Hanya melalui simbol signifikan khususnya melalui bahasa manusia bisa berpikir (hewan yang lebih rendah menurut Mead tidak bisa berpikir).

Menurut Mead, keseluruahan sosial mendahului pemikiran indvidual baik secara logika maupun secara temporer. Individu yang berfikir dan sadar diri adalah mustahil secara logika menurut teori Mead tanpa didahului adanya kelompok sosial. Kelompok sosial muncul lebih dulu, dan kelompok sosial menghasilkan perkembamgan keadaan mental kesadaran diri.

Mead mengidentifikasi empat basis dan tahap tindakan yang saling berhubungan. Keempat tahap itu mencerminkan satu kesatuan organik (dengan kata lain keempatnya saling berhubungan secara dialektis). Mead selain tertarik pada kesamaan tindakan tindakan binatang dan manusia, juga terutama tertarik pada perbedaan tindakan antara kedua jenis mahluk itu.

Implus, tahap pertama adalah dorongan hati atau impus/impuls (impulse) yang meliputi “stimulasi/rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera” dan reaksi aktor terhadap rangsangan, kebutuhan untuk melakukan sesuatu terhadap rangsangan itu.

Persepsi, Tahap kedua adalah untuk persepsi (perception). Aktor menyelidiki dan beraksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan impuls, dalam hal ini rasa lapar dan juga berbagai alat yang tersedia untuk memuaskannya. Manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan  dan memahami stimuli melalui pendengaran, senyuman, rasa, dan sebagainya.

Manipulasi, tahap ketiga adalah manipulasi (manipulation). Segera setelah implus menyatakan dirinya sendiri dan objek telah dipahami, langkah selanjutnya adalah memanipulasiobjek atau mengambil tindakan berkenaan dengan objek itu.

Kumsumasi, berdasarkan pertimbangan ini aktor mungkin memutuskan untuk memakan cendawan (atau tidak) dan ini merupakan tahap keempat tindakan, yakni tahap pelaksanaan/komsumasi (konsummation), atau mengambil tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya. Baik manusia maupun binatang mungkin memakan cendawan beracun karena kemampuannya untuk memanipulasi cendawan dan memikirkan (dan membaca) mengenai implikasi dari memakannya.

Pikirian (Mind)

Pikiran, yang didefinisikan mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan didalam diri individu : pikiran adalah penomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Jadi, pikiran juga didefinisikan secara fungsional ketimbang secara substansif

Menurut Mead, manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia memulai tindakan yang sebenarnya. Sebelum melakukan tindakan yang sebenarnya, seseorang mencoba terlebih dahulu berbagai alternatif tindakan itu melalui pertimbangan pemikirannya.

Berfikir menurut mead adalah suatu proses individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan melakukan simbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan diri sendiri itu, individu memilih mana diantara stimulus yang tertuju kepadanya akan ditanggapinya.

Mead juga melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan proses berfikir yang mengarah pada penyelesaian masalah. Dunia nyata penuh dengan masalah dan fungsi pikiranlah untuk mencoba menyelesaikan masalah dan memungkinkan orang beroprasi lebih efektiv dalam kehidupan.

Diri (self)

Banyak pemikiran mead pada umumnya, dan khususnya tentang pikiran, melibatkan gagasanya mengenai konsep diri. Hingga saat ini kita menghindari konsep ini, tetapi ini perlu dibahas agar diperoleh pemahaman lebih lengkap mengenai pemikiran mead.

Pada dasar diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Diri mensyarakat proses sosial : komunikasi antar manusia. Binatang dan bayi baru lahir tidak mempunyai diri. Diri muncul berkembang melalui aktivitas dan antara hubungan sosial. Menurut mead adalah mustahil membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah diri berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak sosial.

Diri berhubungan secara dialektis dengan pikiran artinya, disatu pihak menyatakan bahwa tubuh bukanlah diri dan baru akan menjadi diri bila pikiran telah berkembang. Dilain pihak, diri dan refleksitas adalah penting bagi perkembangan pikiran. Memang mustahil untuk memisahkan pikiran dan diri karena diri adalah proses mental.

Mekanisme umum untuk mengembangkan diri adalah refleksitas atau kemampuan menempatkan diri secara tak sadar kedalam tempat orang lain dan bertindak seperti mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain memeriksa diri mereka sendiri.

Perkembangan anak.Mead sangat tertarik pada usul diri ia melihat percakapan isyarat sebagai latar belakang bagi diri, tetapi hal itu tidak menyangkut diri, karena dalam percakapan semacam itu orang tidak menempatkan dirinya sendiri sebagai objek. Mead menurut asal usul diri melalui dua tahap dalam perkembangan masa kanak-kanak.

Tahap bermain. Pertama adalah tahap bermain (playstage) dalam ini tahap ini anak-anak mengambil sikap orang lain tertentu untuk dijadikan sikapnya sendiri. Meski binatang juga bermain, namun hanya manusialah “yang bermain dengan orang lain”.

Tahap permainan.  Tahap selanjutnya adalah tahap permainan (gamestage) yang diperlukan agar manusia dapat mengembangkan diri menurut makna istilah itu sepenuhnya. Dalam tahap bermain-main, anak-anak tidak terorganisir secara keseluruhan karena mereka memainkan sederetan peran yang berlainan.Akibatnya, menurut Mead mereka tidak mempunyai kepribadian yang nyata.


Kapasitas Berpikir

Asumsi penting bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berpikir membedakan interaksionisme simbolik dari akar behavirismenya. Asumsi ini juga menyediakan basis semua teori yang berorientasi pada interaksionalisme simbolik. Bernard Meltzer, J. Petras dan Reynold mengatakan bahwa asumsi tentang manusia memiliki kemampuan berpikir adalah salah satu sumbangan teoritisi interaksionisme simbolik awal seperti James Dewey, Thomas Cooley dan tentu saja Mead “individu dalam masyarakat tidak dilihat sebagai unit yang dimotivasi oleh kekuatan eksternal atau internal diluar kontrol mereka atau didalam kekurangan struktur yang kurang lebih tetap.

Berpikir dan Berinteraksi

Manusia hanya memiliki kapasitas umum untuk berpikir. Kapasitas ini harus dibentuk dan diperhalus dalam proses interaksi sosial. Pandangan ini menyebutkan teoritisi interaksionisme simbolik memusatkan perhatian pada bentuk khusus interaksi sosial yakni sosialisasi. Kemampuan manusia untuk berpikir dikembangkan sejak dini dalam sosialisasi anak-anak dan diperhalus selama sosialisasi dimasa dewasa.

Pakar interaksionisme simbolik tak hanya tertarik pada perspektif sosialisasi sederhana, tetapi juga pada interaksi pada umumnya yang “sangat penting dalam bidang kajiannya sendiri” interaksi adalah proses dimana kemampuan berpikir dikembangkan dan diperlihatkan. Semua jenis interaksi, tak hanya interaksi selama sosialisasi, memperbesar kemampuan kita untuk berpikir. Lebih dari itu, pemikiran membentuk proses interaksi.

Pentingnya pemikiran menurut pakar interaksionisme simbolik tercermin dalam pandangan mereka mengenai objek. Blumer membedakan tiga jenis objek : objek fisik seperti kursi atau pohon : objek sosial seperti seorang mahasiswa atau seorang ibu: objek abstrak seperti gagasan atau prinsip moral.

Pembelajaran makna dan simbol

Dengan mengikuti mead, teoritisi interaksionisme simbolik cenderung menyetujui pentingnya sebab musabab interkasi sosial. Dengan demikian, makna bukan berasal dari proses dengan demikian makna bukan proses mental yang menyendiri tetapi berasal dari interaksi. Pemusatan perhatian ini berasal dari pragmatisme mead. Ia memusatkan perhatian pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses mental yang teori isolasi.
Manusia mempelajari makna dan simbol di dalam interaksi sosial. Manusia menanggapi tanda-tanda dengan tanpa berpikir sebaliknya, mereka menanggapi simbol dengan cara berpikir.

Simbol adalah aspek penting yang memungkinkan orang bertindak menurut cara-cara yang khas dilakukan manusia. Karena simbol, manusia “tidak memberikan respon secara pasif terhadap realitas yang memaksakan dirinya sendiri, tetapi secara aktiv menciptakan dan mencipta ulang dunia tempat mereka berperan”. Sebagai tambahan atas kegunaan umum ini, simbol pada umumnya bahasa pada khususnya, mempunyai sejumlah fungsi khusus bagi aktor.

Pertama, simbol memungkinkan orang menghadapi dunia material dan dunia sosial dengan memungkinkan mereka untuk mengatakan menggolongkan dan mengingat objek yang mereka jumpai disitu.

Kedua, simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami lingkungan. Daripada dibanjiri oleh banyak stimuli yang tak dapat dibeda-bedakan, aktor dapat berjaga-jaga terhadap bagian lingkungan tertentu saja ketimbang terhadap bagian lingkungan yang lain.

Ketiga, simbol meningkatkan kemampuan untuk berpikir. Jika sekumpulan simbol bergambar hanya dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara terbatas, maka bahasa akan dapat lebih mengembangkan kemampuan ini. Dari artian ini, berpikir dapat dibayangkan sebagai berinteraksi secara simbolik dengan diri sendiri.

Keempat, simbol meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Binatang harus menggunakan cara trial and error, tetapi manusia dapat memikirakan dengan menyimbolkan berbagai alternatif tindakan sebelum benar-benar melakukannya. Kemampuan ini mengurangi peluang berbuat kesalahan yang merugikan.

Kelima, simbol memungkinkan aktor mendahului waktu, ruang dan bahkan pribadi mereka sendiri. Melalui penggunaan simbol, aktor dapat membayangkan seperti apa kehidupan dimasa lalu atau seperti apa kemungkinan hidup dimasa depan. Lagipula, aktor dapat secara simbolik mendahului pribadi mereka sendiri dan membayangkan seperti apa kehidupan ini dilihat dari sudut pandang orang lain. Inilah konsep teroritisi interaksionisme simbolik yang terkenal : mengambil peran orang lain.

Keenam, simbol memungkinkan kita membayangkan realitas metafisik, seperti surga dan neraka.
Ketujuh, dan paling umum simbol memungkinkan orang menghindari dari perbudak oleh lingkungan mereka. Mereka dapat lebih aktiv ketimbang pasif artinya mengatur sendiri mengenai apa yang akan mereka kerjakan.

Pemikiran Plato Tentang Mimesis

Hasil gambar untuk Pemikiran Plato Tentang Mimesis


Mimesis berasal bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya dengan kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan.

Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep Idea-idea yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni.

Plato menganggap Idea yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Idea merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Idea oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio,tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca indra. Idea bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya idea mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dari kayu dengan jumlah lebih dari satu . Indra mengenai segitiga tersebut tidak dapat berubah, tetapi segitiga yang terbuat dari kayu bisa berubah.

Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dari negerinya. Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan copy dari Idea, sehingga barang tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya (dalam Idea-Idea mengenai barang tersebut).

Sekalipun begitu bagi Plato seorang tukang lebih mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk yang dapat disentuh panca indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan .

Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal. (Teew.1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka, Plato mengatakan bila seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio.

Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunoni Kuno, hingga pada akhirnya Abrams memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis sastra selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dari pendekatan sosiologi sastra yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik sastra yang lain.

MASYARAKAT SEBAGAI INTERAKSI-SIMBOLIS

Hasil gambar untuk INTERAKSI SIMBOLIK


Masyarakat merupakan hasil interaksi-simbolis dan aspek inilah yang harus merupakan masalah bagi para sosiolog.Bagi Blummer, keistimewaan pendekatan kaum interaksionis simbolis ialah manusia dilihat saling menafsirkan atau membatasi masing-masing tindakan mereka dan bukan hanya saling bereaksi kepada setiap tindakan itu menurut mode stimulus-respon. Seseorang tidak langsung memberi respon pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian yang diberikan kepada tindakan itu. Blummer menyatakan, “dengan demikian interaksi manusia dijembani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, oleh kepastian makna dari tindakan-tindakan orang lain. Dalam kasus prilaku manusia, mediasi ini sama dengan penyisipan suatu proses penafsiran diantara stimulus dan respon”.

Interaksionalisme simbolik menggambarkan masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti sistem, struktur sosial, posisi status, peranan sosial, pelapisa sosial, stuktur institusional, pola budaya, norma-norma dan nilai-nilai sosial, melainkan dengan memakai istilah “aksi”. Masyarakat, organisasi atau kelompok terdiri dari orang-orang yang menghadapai keragaman situasi dan masalah yang berbeda-beda. Situasi-situasi minta ditangani! Masalahnya harus dipecahkan! Sesuai firasat bersama harus disusun. Maka muncullah suatu gambaran masyarakat yang dinamis, bercorak serba berubah dan pluralistis. Orang saling berhubungan satu sama lain dan saling menyesuaikan kelakuan mereka secara timbal-balik. Mereka “tidak bertindak dengan berpedoman pada suatu kebudayaan, struktur sosial dan sebagainya, melainkan dengan menghadapi dengan situasi-situasi.

Kita diberi kesan bahwa Blumer dan sosiolog-sosiolog lain dari kalangan interaksionisme simbolik tidak perlu mementingkan struktur-struktur. Antara lain, struktur kekuasaan di dalam masyarakat, yang pada hemat kami amat berpengaruh atas kelakuan anggotanya, hampir tidak disoroti, sehingga gambaran masyarakat menjadi agak voluntaristis dan subyektivitis. Mengingat pengremehan struktur-struktur itu, maka kita boleh bertanya apa yang sebenarnya mempersatukan masyarakat. Kita telah belajar dari fungsionalisme struktural bahwa “konsensus”, yaitu kesesuaian paham tentang nilai-nilai dan bentuk-bentuk tertentu, yang telah dibatinkan dan diungkapkan ke dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan, merupakan semen masyarakat. Bagaimana blumer dan kawan-kawan menjawab atas soal ini? Bertentangan dengan pengandaian Fungsionalisme struktural, sosiologi Interaksionalisme simbolik bertitik tolak dari Selfimage para peserta. Apa yang diinginkan dan diharapkan mereka tidak sama.

Untuk lebih mempermudah pemahaman terhadap teori ini barangkali ada gunanya dikemukakan sejumlah ide dasar yang terkandung didalamnya (Poloma, 1987: 267).

  • Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.
  • Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi simbolik mencakup penafsiran tindakan.
  • Objek-objek tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi simbolik. Objek-objek dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori : objek fisik, objek sosial, objek abstrak.
  • Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai objek.
  • Tindakan manusia adalah tindakan interprentatif yang dibuat oleh manusia sendiri.
  • Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok. Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai organisasi sosial dari prilaku tindakan-tindakan berbagai manusia.


Blumer tidak mendesak prioritas dominasi kelompok atau struktur, tetapi melihat tindakan kelompok sebagai kumpulan dari tindakan individu : “Masyarakat harus dilihat sebagai terdiri dari tindakan orang-orang, dan kehidupan masyarakat terdiri dari tindakan orang-orang itu”. Blummer melanjutkan ide ini dengan menunjukkan bahwa kehidupan kelompok yang demikian merupakan respon pada situasi-situasi dimana orang menemukan dirinya. Situasi tersebut dapat terstruktur, tetapi Blumer berhati-hati menentang pengabaian arti penting penafsiran sekalipun dalam lembaga-lembaga yang relatif tetap.

Pada umumnya suatu masyarakat akan banyak ditandai oleh “orde” daripada “konflik” karena orang saling membutuhkan demi pemuasan kebutuhan mereka. Sosiolog-sosiolog interaksionisme simbolik meyambut secara khusus “kebutuhan-kebutuhan sosial” seperti antara lain kebutuhan agar Self image seseorang senantiasa perlu diteguhkan oleh orang lain melalui proses interaksi, supaya bertahan. Orang bergantungan satu kepada yang lain, hal mana menjadi nyata dalam proses-proses interaksi. Jadi kebutuhan dan ketergantungan merupakan semen masyarakat.

Masih timbul soal tentang faktor-faktor manakah diperlukan supaya proses pemersatuan atau kohesi akan dapat berjalan dengan lancar. Dahulu Mead sudah menjawab bahwa prasyarat utama adalah dimilikinya sejumlah simbol-simbol yang dibagi bersama oleh semua peserta dalam interaksi. Orang harus berkomunikasi supaya dapat berinteraksi lebih lanjut. Orang harus berpegang pada suatu minimum definisi-defisini situasi, yang kurang lebih lama. Harus ada suatu perspektif bersama menghasilkan bahwa para peserta memperoleh pandangan kurang lebih sama mengenai situasi dan peranan mereka masing-masing. Jadi harus ada suatu konsensus atau kebersatuan kultural, supaya proses-proses dapat berjalan.

LINGKUP PEMBAHASAN INTERAKSI SIMBOLIK

Hasil gambar untuk INTERAKSI SIMBOLIK

Pada perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang prilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan kelompok atau masyarakat. Proporsi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia itu dapat dibedakan, karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna dibalik yang sensual menjadi penting didalam interaksi simbolis.

Secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik yaitu : (1) prilaku manusia mempunyai makna dibalik yang menggejala, (2) pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial manusia, (3) masyarakat merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga, (4) perilaku manusia itu berlaku berdasarkan penafsiran penomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatis, (5) konsep mental manusia itu berkembang dialektik dan (6) prilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif.

Definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat merupakan aturan yang mengatur interaksi antar manusia. Ada tiga jenis aturan yang mengatur prilaku manusia ketika mereka berinteraksi dengan orang lain, yang disebutkan oleh David A. Karp dan W. C. Yoels dalam bukunya symbol, selves, and society: understanding interaction (1979), yaitu: (1) aturan mengenai ruang : (2) aturan mengenai waktu : (3) aturan mengenai gerak dan sikaf tubuh.

“Teori ini lebih dari sisi proses komunikasi. Dalam komunikasi itu ada dua hal yang penting, yaitu isyarat dan simbol, kemudian diperlukan proses pemikiran dalam menggunakan dan menerjemahkan simbol-simbol tersebut.(Menurut Paul Johnson)”.

Interaksi simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa sebagai salah satu simbol yang terpenting dan isyarat (decoding). Akan tetapi, simbol bukan merupakan faktor-faktor yang telah terjadi (Given), melainkan merupakan suatu proses yang berlanjut. Maksudnya, ia merupakan suatu proses penyampaian “makna”. Penyampaian makna dan simbol inilah yang menjadi subjekmatterdalam teori interaksi simbolik.

Dimikian pula halnya, teori interaksionalisme simbolik yang dibangun dari paradigma definisi sosial memandang manusia sebagai aktor yang sadar dan refleksif, yang menyatukan objek-objek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blummersebagai self indication (Poloma, 1987;264).

Menurut teori interaksionisme simbolik, fakta sosial bukanlah merupakan barang sesuatu yang mengendalikan dan memaksakan tindakan manusia. Dalam hal ini organisasi masyarakat (fakta sosial) merupakan kerangka didalam mana tindakan manusia mengambil tempat, bukan merupakan faktor penentu tindakan sosial.

Karakteristik dari teori interaksi simbolik ini ditandai oleh hubungan yang terjadi antar-individu dalam masyarakat. Dengan demikian, individu yang satu berinteraksi dengan yang lain melalui komunikasi. Individu adalah simbol-simbol yang berkembang melalui interaksi simbol yang mereka ciptakan. Masyarakat merupakan rekapitulasi individu secara terus menerus.

Interaksionisme Simbolik

Hasil gambar untuk INTERAKSI SIMBOLIK

Interaksi simbolik merupakan salah satu perspektif teori yang baru muncul setelah adanya teori aksi (action theory), yang dipelopori dan dikembangkan oleh Max Weber. Sebagai teori yang baru muncul setelah teori aksi maka pendekatan yang digunakan juga pendekatan Max Weber yang digunakan dalam teori aksi.

Teori ini berkembang pertama kali di universitas Chicago, dan dikenal dengan mahzab Chicago. Namun, tokoh utamanya dari teori ini berasal dari berbagai universitas di luar Chicago, di antaranya John dewey dan C.H Cooley, yaitu seorang filsuf yang semula mengembangkan teori interaksi simbolik di Universitas Michigan-kemudian pindah ke Chicago dan banyak memberi pengaruh kepada W.I Thomas dan G.H Mead.

Mead sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin, yang pada intinya menyatakan bahwa organisme hidup secara berkelanjutan terlibat dalam usaha penyesuaian diri dengan lingkungannya, sehingga organisme itu mengalami perubahan yang terus-menerus. Dari dasar pemikiran semacam ini Mead melihat pemikiran manusia, sebagai sesuatu yang muncul dalam proses evolusi alamiah.

Secara bertahap, individu memperoleh konsep diri dalam interaksi-nya dengan orang-orang lain sebagai bagian dari proses yang sama dengan proses pemunculan pikiran. Jika proses berpikir itu terdiri dari suatu percakapan internal, maka konsep diri itu didasarkan pada individu yang secara tidak kasatmata (kelihatan) menunjuk pada identitas dirinya yang dinyatakan oleh orang lain.

Pada umumnya interaksionisme simbolik adalah filsafat pragmatisme dan behaviorisme psikologis.

Pragmatisme adalah pemikiran filsafat yang meliputi banyak hal. Ada beberapa aspek pragmatisme yang memengaruhi orientasi sosiologis yang dikembangkan oleh Mead. Pertama, menurut pemikir pragmatisme, realitas sebenarnya tidak berada “diluar” dunia nyata; realitas “diciptakan secara aktiv saat kita bertindak di dalam dan terhadap dunia nyata”. Kedua, manusia mengingat dan mendasarkan pengetahuan mereka mengenai dunia nyata pada apa yang telah terbukti berguna bagi mereka. Ketiga, manusia mendefiniskan “objek” sosial dan fisik yang mereka temui di dunia nyata menurut kegunaannya bagi mereka. Keempat, bila kita ingin memahami aktor, kita harus mendasarkan pemahaman itu diatas apa-apa yang sebenarnya mereka kerjakan dalam dunia nyata.

Aliran pragmatisme yang dirumuskan oleh John Dewey, Wiliam James, Charles Pierce, dan Josiah Royce mempunyai beberapa pandangan.

Ralph LaRosa dan Donald C. Reitzes mencatat tujuh asumsi yang mendasari teori interaksionisme simbolik. Tujuh asumsi tersebut memperlihatkan 3 tema besar yakni;
  • Pentingnya makna bagi prilaku manusia
  • Pentingnya konsep mengenai diri
  • Hubungan antar individu dan masyarakat

Ada tiga hal yang penting bagi interaksionisme simbolik:

  1. Memusatakan perhatian pada interaksi antara aktor dan dunia nyata
  2. Memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai proses dinamis dan bukan sebagai struktur yang statis dan
  3. Arti penting yang dihubungkan kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial.


Behaviorisme, Lewis dan Smith menafsirkan bahwa Mead dipengaruhi oleh behaviorisme psikologis, sebuah perspektif yang juga membawanya ke arah realis dan empiris. Mead sebenarnya menyebut basis pemikirannya sebagai behaviorisme sosialuntuk membedakannya dari behaviorisme radikal dari John B. Watson.

Berhaviorisme radikal watson memusatkan perhatian pada prilaku individual yang dapat diamati. Sasaran perhatiannya adalah pada stimuli atau prilaku yang mendatangkan respon. Penganut behaviorisme radikal menyangkal atau tak mau menghubungkan proses mental tersembunyi yang terjadi diantara saat stimuli dipakai dan respon dipancarkan.

Menurut Mead, unit study adalah “tindakan” yang terdiri dari aspek tersembunyi dan yang terbuka dari tindakan manusia. Didalam tindakan itulah semua kategori psikologis tradisional dan ortodoks menemukan tempatnya.

Pragmatisme dan behaviorisme, terutama dalam teori Dewey dan Mead, diajarkan ke banyak mahasiswa di Universitas Chicago, terutama pada 1920-an mahasiswa-mahasiswa itu, didalamnya adalah Herbert Blumer, membangun interaksionisme-simbolik. Tentu saja ada teoritisi lain yang memengaruhi mahasiswa ini, dan yang terpenting diantaranya adalah George Simmel. Perhatian Simmel terhadap bentuk-bentuk tindakan dan interaksi adalah sesuai dengan, dan merupakan perluasan dari teori Meadian.

Blumer menciptakan istilah interaksionisme simbolik tahun 1937 dan menulis beberapa esai yang menjadi instrumen penting bagi perkembangannya. Sementara Mead berupaya membedakan interaksionisme-simbolik yang baru lahir itu dari behaviorisme, blumer melihat interaksionisme-simbolik berperan di dua front. Pertama, behaviorisme-reduksionis yang membuat Mead cemas. Masih ada lagi ancaman serius yang berasal dari teori sosiologi berskala luas terutama fungsionalisme struktural. Menurut Blumer, baik behaviorisme maupun fungsionalisme struktural sama-sama cenderung memusatkan perhatian pada faktor yang melahirkan prilaku manusia.

INTERAKSI SIMBOLIK DALAM REALITAS SOSIAL


Hasil gambar untuk INTERAKSI SIMBOLIK

Manusia mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol. Kemampuan itu digunakan untuk berkomunikasi antar pribadi dan pikiran subjektif. George Herbert Mead Menyatakan, bahwa pikiran atau kesadaran manusia sejalan dengan kerangka evolusi Darwinis. Berpikir, bagi Mead, sama artinya setara dengan melakukan perjalanan panjang yang berlangsung dalam masa antargenerasi manusia yang bersifat subhuman. Dalam “perjalanan” itu ia terus-menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga sangat memungkinkan terjadinya perubahan bentuk dan karakteristiknya

Komunikasi melalui isyarat-isyarat sederhana adalah bentuk yang paling sederhana dan yang paling cocok dalam berkomunikasi, tetapi manusia tidak terbatas pada bentuk komunikasi ini. Bentuk yang lain adalah komunikasi simbol. Karakteristik khusus dari komunikasi simbol manusia adalah tidak terbatas pada isyarat-isyarat fisik. Sebaliknya, menggunakan kata-kata dan simbol-simbol suatu yang mengandung arti yang dipahami bersama dan bersifat standar. Kemampuan manusia menggunakan simbol suara yang dimengerti bersama memungkinkan perluasan dan penyempurnaan komunikasi jauh melebihi apa yang mungkin melalui isyarat fisik aja.

Bagian penting dari pembahasan Mead adalah hubungan timbal balik antara diri sebagai objek dan diri sebagai subjek. Diri sebagai objek ditunjukkan oleh Mead melalui konsep “Me”, sementara ketika sebagai subjek yang bertindak ditunjuknya dengan konsep “I”.

Mead memandang diri itu adalah individu yang menjadi objek sosial bagi dirinya. Menjadi objek sosial bagi dirinya berarti individu itu memperoleh makna-makna yang diartikan oleh orang lain disekelilingnya. Setelah diri berkembang dengan sempurna, maka diri itu tidak akan statis. Ia senantiasa akan berubah sesuai perubahan yang dialami oleh kelompok itu. Hal ini bukanlah satu-satunya dasar dari perubahan diri. Seperti yang dijelaskan Mead dalam uraiannya mengenai perbedaan antara “Me” dan “I” sebagai dua fase diri. “Me” itu merupakan organisasi diri yang biasa dan menurut adat. Ia mengandung sikap orang lain yang dikelola sebagai panduan bagi tingkah laku orang itu.

Oleh karena kita memasukkan sikap orang lain untuk membentuk kesadaran diri kita sendiri, maka “me” itu menjadi diri sebagai objek yang kita sadari semasa kita mengingat kembali tingkah laku kita.

Kaum Intelektual dan Sosialisme (Bagian 2)


Hasil gambar untuk pemikir

Istilah “intelektual” itu sendiri tidak merujuk pada gambaran akurat dari kelompok luas yang kita maksud, dan faktanya kita tidak mempunyai nama yang lebih baik yang bisa menggambarkan apa yang kita maksud sebagai “penjual gagasan bekas” (secondhand dealers in ideas). Namun itu bukan satu-satunya alasan mengapa kekuatan kaum intelektual tidak dipahami secara lebih baik. Bahkan orang-orang yang menggunakan kata “intelektual” utamanya sebagai istilah yang salah, namun cenderung untuk mempertahankan istilah ini dari orang-orang yang jelas-jelas menjalankan fungsi spesifik tersebut. Kata “intelektual” juga bukan sebuah istilah yang menggambarkan pemikir asli atau intelektual atau pakar dalam bidang pemikiran tertentu. Tipikal intelektual tidak perlu memiliki pengetahuan khusus, ataupun tidak perlu pintar secara khusus, untuk berperan sebagai perantara dalam menyebarkan gagasan. Kualifikasi kaum intelektual untuk pekerjaannya hanyalah luasnya wawasan yang mereka siap untuk bicarakan dan tulisan, dan posisi atau kebiasaan yang memperkenalkan mereka ke ide-ide baru lebih cepat dibandingkan yang lainnya.

Sangat sulit untuk menyadari betapa beragamnya profesi dan kegiatan terkait masing-masing kelas, sampai ada yang mulai mencatatnya, termasuk bagaimana besarnya cakupan kegiatan meningkat dalam sebuah masyarakat moderen, dan seberapa besar kita bergantung pada profesi-profesi tersebut. Kelas tidak hanya terdiri dari jurnalis, guru, menteri, dosen, penerbit, komentator radio, penulis kisah fiksi, kartunis, dan seniman, yang kesemuanya mungkin memiliki keahlian dalam menyamaikan gagasan, namun biasanya amatir bila substansi pemikiran mereka digugat. Kaum intelektual juga mencakup kalangan profesional dan teknisi, seperti peneliti sains dan dokter, yang melalui  kebiasaan persentuhan mereka dengan kata-kata menjadikan mereka sebagai pembawa gagasan di luar luar lahan mereka sendiri, dan yang karena keahlian dalam bidang keilmuannya didengar dengan hormat dibandingkan kebanyakan orang. Hanya sedikit orang biasa  di masa kini yang belajar tentang berbagai peristiwa atau gagasan, kecuali melalui perantara kaum intelektual ini; dan di luar bidang khusus pekerjaan yang ada, kebanyakan orang biasa mengandalkan sumber informasi dan instruksi dari mereka yang memang bekerja untuk tetap terinformasi dalam membuat opini. Kaum intelektual dalam hal ini, yang memutuskan pandangan dan opini apa yang menjangkau kita, fakta mana yang cukup penting untuk diberitahukan pada kita, dan dalam bentuk dan sisi mana informasi tersebut ditampilkan. Juga apakah kita harus mempelajari hasil kerja para pakar dan pemikir orisinil, utamanya tergantung pada keputusan kaum intelektual.

Orang awam mungkin tidak sepenuhnya sadar sejauh mana reputasi populer para saintis dan kaum terpelajar yang dibuat oleh kaum intelektual dan secara melekat dipengaruhi oleh pandangan-pandangannya terhadap permasalahan yang sedikit terkait dengan mutu dari keberhasilan mereka. Dan ini secara spesifik sangat signifikan untuk masalah kita, bahwa seorang yang terpelajar mungkin bisa menyebutkan beberapa contoh dari bidangnya tentang orang-orang yang secara tidak layak mendapatkan reputasi sebagai saintis besar semata-mata karena mereka menjunjung sesuatu yang dianggap para intelektual sebagai pandangan politik “progresif”; tetapi saya belum menemukan satu contoh pun, dimana reputasi saintifik semu telah diberikan atas alasan politis kepada orang terpelajar yang cenderung konservatif. Penciptaan reputasi oleh kaum intelektual ini penting dalam bidang-bidang dimana hasil dari studi para pakar tidak digunakan oleh para ahli lain, tetapi ditentukan oleh keputusan politik masyarakat luas. Bahkan jarang sekali ada contoh yang dapat menjelaskan hal ini lebih baik daripada perilaku ekonom profesional terkait doktrin-doktrin, seperti seperti sosialisme atau proteksionisme. Mungkin dulu tidak ada kelompok mayoritas dalam kelompok ekonom, yang mengakui sesamanya dari teman sejawatnya, dan cenderung kepada sosialisme (atau, dalam hal lainnya, kepada proteksionisme). Dalam semua kemungkinan, nampaknya bahkan dapat dikatakan bahwa tidak ada kelompok mahasiswa serupa yang mempunyai proporsi anggota yang besar yang memutuskan untuk memusuhi ide sosialisme (atau proteksionisme). Hal ini bertambah signifikan di saat ini, dimana ketertarikan awal pada skema sosialisme untuk reformasi akan mengarahkan seseorang pada bidang ekonomi untuk profesinya. Tetapi hal yang saya sampaikan tadi bukanlah pandangan dominan dari para pakar, tetapi pandangan dari minoritas, yang sebagian besar meragukan profesi mereka sendiri, yang dibawa dan disebarkan oleh kaum intelektual.

Semua pengaruh kuat dari kaum intelektual dalam masyarakat kontemporer masih lebih diperkuat oleh perkembangan akan pentingnya “organisasi”. Hal ini merupakan suatu pendapat umum, namun mungkin juga suatu kepercayaan yang salah bahwa meningkatnya organisasi akan meningkatkan pengaruh para pakar atau spesialis. Ini mungkin benar terkait pakar dalam manajemen dan kepanitiaan, bila memang ada orang-orang seperti itu, namun sangat jarang untuk pakar yang benar-benar menguasai ilmu pengetahuan tertentu. Hal ini membuat kecenderungan seseorang yang mempunyai pengetahuan umum yang bisa menghargai testimoni pakar, dan menentukan siapa diantara para pakar di bidang lain, yang pengaruhnya meningkat. Poin yang penting untuk kita adalah orang terpelajar yang menjadi rektor universitas, saintis yang menangani sebuah institusi atau yayasan, orang terpelajar yang menjadi seorang editor atau promotor aktif sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang tertentu, semua profesi tersebut akan secara cepat berhenti menjadi seorang orang terpelajar atau saintis, dan menjadi kaum intelektual, hanya karena beberapa ide tertentu yang tengah menjadi tren. Jumlah institusi semacam ini yang melahirkan banyak kaum intelektual dan meningkatkan jumlah dan kekuatannya berkembang setiap hari. Hampir semua “pakar” di tipe ini hanya sebatas menguasai teknik mendapatkan pengetahuan, terkait permasalahan yang mereka tangani, sebagai intelektual bukan pakar.

Dalam cara berpikir kita untuk istilah ini, kaum intelektual adalah fenomena baru dalam sejarah. Walaupun tidak ada yang menyesali bahwa pendidikan sudah berhenti hanya pada suatu keistimewaan yang dimiliki kelas pemilik barang dan jasa (propertied class), namun faktanya bahwa kelas-kelas tersebut bukanlah yang kelas yang paling terdidik dan  fakta bahwa banyak orang yang menggantungkan posisi mereka hanya pada pendidikan umum sehingga mereka tidak memiliki pengalaman kerja dalam sistem ekonomi, yang merupakan basis administrasi dari hak kepemilikan, penting untuk memahami peran kaum intelektual. Profesor  Schumpeter yang telah menelurkan bab mencerahkan dalam bukunya “Capitalism, Socialism, and Democracy” ke beberapa aspek dalam masalah kita, telah menekankan dengan etis bahwa ketiadaan tanggung jawab langsung dalam urusan-urusan praktis dan konsekuensi absennya pengetahuan yang orisinil yang membedakan tipikal kaum intelektual dari orang lain yang juga menggunakan kekuatan berbicara dan tulisan. Akan terlalu jauh untuk memeriksa perkembangan kelas ini lebih jauh dan pernyataan keingintahuan yang baru saja disampaikan oleh salah satu teoritisinya, bahwa ini dalah satu-satunya pandangan yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi. Salah satu poin penting yang harus dikaji dalam diskusi seperti itu adalah seberapa jauh pertumbuhan kaum intelektual ini didorong oleh peraturan tentang hak cipta.

Kaum Intelektual dan Sosialisme (Bagian 1)


Hasil gambar untuk pemikir

Tulisan ini dibuat pertama kali oleh Friedrich A. Hayek pada tahun 1949. Hayek adalah penerima penghargaan Nobel Ekonomi, terkenal atas bukunya “The Road to Serfdom” (1944) yang menjadi buku utama pengkritik kebijakan sentralistik Barat pada waktu itu. Esai ini menjelaskan bagaimana kelompok baru yang bernama intelektual mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah di negara-negara demokratis. Hayek juga melihat kecenderungan kaum intelektual pada waktu itu, yang cenderung memihak ideologi sosialisme dibandingkan liberalisme. Sebagai catatan, istilah “sosialisme” yang Hayek gunakan dalam esai ini adalah ideologi kiri umum yang mencakup Marxisme, komunisme, sosialisme demokratis, hingga Keynesianisme yang oleh Hayek dianggap sebagai awal menuju otoritarianisme.

Di negara demokratis, terutama di Amerika Serikat, pernah berlaku kepercayaan yang kuat bahwa pengaruh intelektual terhadap politik tidak begitu penting. Tidaklah meragukan bahwa kekuatan sejati dari kaum intelektual adalah membuat opini yang tidak biasa dalam rangka mempengaruhi momentum pembuatan keputusan, dimana mereka dapat menggoyang pilihan orang banyak dengan pandangan yang berbeda dari pandangan masyarakat kebanyakan saat itu. Tapi agaknya, kaum intelektual sudah lama tidak pernah menggunakan pengaruh besar seperti yang mereka lakukan saat ini di negara-negara demokratis. Kekuatan yang mereka gunakan dengan cara membentuk opini publik.

Dalam sejarah belakangan ini, kekuatan menentukan dari kelompok “pedagang barang bekas profesional” (professional secondhand dealers) dalam dunia gagasan belumlah secara umum disadari. Pembangunan politik Dunia Barat dalam seratus tahun belakang memberikan petunjuk yang sangat jelas. Sosialisme, pada awalnya tidak pernah menjadi dan bukan merupakan sebuah ideologi utama perjuangan kelas pekerja. Sosialisme bukan berarti solusi yang pasti untuk kepentingan yang serta-merta dituntut oleh kelas pekerja. Pemikiran tersebut merupakan konstruksi teori yang diperoleh dari kecenderungan tertentu sebuah pemikiran abstrak yang sudah lama sangat akrab dengan kaum intelektual; sosialisme membutuhkan usaha yang panjang dari kaum intelektual sebelum kelas-kelas pekerja bisa diyakinkan untuk mengadopsi sosialisme sebagai program mereka.

Di semua negara yang bergerak menuju sosialisme, tahap pembangunan dimana sosialisme menjadi faktor penentu dalam politik telah dimulai bertahun-tahun lalu, saat idealisme sosialis menguasai pemikiran banyak para intelektual aktif saat itu. Di Jerman, tahap ini telah dicapai pada akhir abad 19; di Inggris dan Prancis, sekitar periode awal Perang Dunia pertama. Untuk pengamat biasa, Amerika Serikat tampaknya sudah mencapi tahap ini setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua dan saat ini daya tarik sistem ekonomi terencana dan terpimpin menguat seperti yang terjadi di Jerman dan Inggris. Pengalaman menunjukkan bahwa ketika fase ini sudah tercapai, maka hanya tinggal menunggu waktu sampai pandangan yang dipegang kaum intelektual ini menjadi kekuatan yang mengatur politik.

Dengan demikian, karakteristik dari proses dimana pandangan para intelektual mempengaruhi politik di masa depan akan lebih dari sekedar kepentingan akademis. Kalaupun kita hanya berharap untuk meramal atau berusaha untuk mempengaruhi peristiwa yang terjadi, maka ini adalah faktor dari kepentingan yang lebih besar daripada yang umumya dipahami. Apa yang dilihat pengamat saat ini sebagai pertarungan konflik kepentingan sebenarnya seringkali telah diputuskan jauh sebelum benturan ide dibatasi dalam lingkaran yang sempit.

Ironisnya, secara umum hanya partai-partai Kiri yang telah banyak bekerja dalam menyebarkan kepercayaan terhadap kekuataan angka dari kepentingan material lawan yang menentukan isu-isu politik, sedangkan dalam praktiknya partai-partai yang sama secara sukses dan terus-menerus berperan seolah-olah mereka mengerti posisi kunci para intelektual.  Entah sebuah hal yang telah dirancang atau didorong oleh keadaan, mereka selalu mengarahkan usaha utama mereka dengan meraih dukungan “elit” ini, sementara banyak kelompok konservatif juga telah bertindak secara terus-menerus namun tidak berhasil untuk mendorong pandangan yang lebih naif mengenai demokrasi massa dan biasanya dengan sia-sia  berusaha mengarahkan sasaran langsung untuk menjangkau dan membujuk pemilih individu.

John Rawls dan Konsep Keadilan


Hasil gambar untuk John Rawls dan Konsep Keadilan
John Rawls adalah salah satu pemikir politik liberal kontemporer yang memberikan warna baru pada spektrum liberalisme global saat ini. Magnum Opus Rawls yang berjudul “a Theory of Justice” dan “Political Liberalism” menjadi dua buah karyanya yang menjadi rujukan bagi perkembangan liberalisme kontemporer. Pembenahan besar-besaran terjadi dalam studi-studi mengenai liberalisme di dunia.

Kritiknya terhadap kaum utilitarian dan intuisionisme adalah awal dari segenap rancangan pemikirannya. “A Theory of Justice” bukanlah suatu rumusan yang dirumuskan oleh Rawls untuk membentuk suatu teori tentang keadilan, melainkan sebuah sumbangan terhadap teori keadilan yang telah ada yang dibentuk oleh kaum utilitarian dan intuisionsime. Utilitarianisme dan Intuisionisme dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Thesis utama Bentham dan Mill tentang keadilan dituangkan dalam prinsip “The Greatest Happiness for The Greatest Number”. Prinsip ini diambil dari asumsi kaum utilitarian tentang konsep rasa sakit (pain) dan hasrat (desire). Manusia diandaikan akan selalu mencari rasa kebahagiaan/kepuasan dan selalu berjalan menghindari sejauh mungkin penderitaan. Konsekuensinya adalah manusia akan selalu memiliki prioritas untuk memaksimalisasi manfaat, keuntungan, dan segala konsekuensi dari tindakan yang paling menguntungkan.

Keadilan dalam pandangan utilitarian dipandang dalam bentuk prioritasnya untuk menghindari pain rasa sakit/penderitaan sejauh mungkin dan berlari menuju kebahagiaan, sehingga setiap perilaku dan tindakan diperhitungkan melalui konsekuensi yang dihadirkan. Keadilan selalu hadir dalam setiap konsekuensi terbaik dan terbesar yang dimiliki oleh setiap perilaku. Dengan demikian, keadilan utilitarian adalah keadilan yang dipandang sangat bergantung pada asas manfaat dan kegunaan demi sebesar-besarnya kebahagiaan sebanyak-banyaknya orang.

Berbeda dengan Utilitarianisme, Rawls memiliki hasil pemikiran yang tertuang dalam istilahnya yang terkenal yaitu “The Principles of Justice” (Prinsip-Prinsip Keadilan).  Prinsip Keadilan Rawls terdiri dari dua hal yaitu:

(1). each person is to have an equal right to the most extensive total system of equal basic liberties compatible with a similar system of liberty for all.
(2a). social and economic inequalities are to be arranged so that they are to the greatest benefit of the least advantaged and (2b) are attached to offices and positions open to all under conditions of fair equality of opportunity.

Prinsip pertama menyatakan bahwa setiap orang atau warga negara harus mendapatkan hak yang sama dari keseluruhan sistem sosial dalam mendapatkan kebebasan paling hakiki yang ditawarkan pada manusia. Kebebasan tersebut tertuang pada seperangkat hak yang melekat pada tiap individu, seperti hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk berasosiasi, hak untuk ikut serta aktif dalam sistem politik dan sosial, dan hal tersebut harus berlaku secara sama pada setiap indivdu. Prinsip pertama ini disebut sebagai prinsip mengenai kebebasan dan hak dasar manusia yang perlu diperoleh dengan setara pada setiap individu.

Prinsip kedua menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa agar memberikan keuntungan terbesar bagi kalangan yang paling tidak beruntung dalam masyarakat. Dengan kehadiran prinsip kedua bagian (a), maka bagian (b) memberikan kesempatan yang fair pada setiap orang untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam keseluruhan sistem sosial, politik, ekonomi. Maka tugas pemerintah, masyarakat, dan individu menjadi mutlak untuk dijalankan demi memenuhi keseluruhan prinsip tersebut.

Pemikiran Rawls adalah upaya membentuk Justice as Fairness pada awalnya merupakan bagian dari pemikiran melihat realitas sosial yang terjadi di dalam masyarakat liberal. Ketimpangan selalu hadir dalam setiap masyarakat, bahkan masyarakat liberal, sosialis, apalagi dalam masyarakat yang hadir dalam rezim totalitarian. Perbedaan capaian seorang individu dalam masyarakat maupun dalam hidupnya sendiri, sangat ditentukan oleh tatanan alamiah yang hadir tanpa pernah sekalipun individu memilihnya. Terlahir dari golongan masyarakat kaya atau miskin, secara genetis tampan atau cantik atau tidak, terlahir dengan kulit berwarna gelap atau tidak merupakan tata alamiah yang tidak dapat dipungkiri kehadirannya. Kehadiran tata alamiah ini menyebabkan ada ketimpangan dalam kompetisi sosial, ekonomi, dan politik yang didapatkan oleh individu yang disebabkan oleh kondisi tersebut.

Apakah seorang anak ahli hukum akan mendapatkan kesempatan dan potensi yang sama untuk menjadi seorang sarjana hukum dibandingkan dengan seorang anak petani? Individualisme padahal memberi kesempatan pada individu sejak lahir untuk hadir dalam kompetisi yang memberikan kesempatan pada setiap orang untuk berkembang dan berkreativitas tanpa batas. Kompetisi merupakan hal yang mutlak yang ada dalam pandangan liberalisme. Namun Rawls memandang bahwa ada yang luput dalam menciptakan kondisi dan sistem kompetisi yang dihadapi oleh individu untuk mencapai keinginan terdalamnya masing-masing. Dalam sebuah kompetisi sosial, Rawls menganggap pentingya suatu kondisi awal yang adil dari sebuah kompetisi. Tatanan alamiah memberikan kondisi pada realitas sosial dimana ia akan selalu berada dalam kondisi yang plural (berbeda-beda secara radikal).

Rawls menawarkan konsep apa itu yang dianggap adil. Definisi “adil” oleh Rawls secara sederhana dijelaskan dalam suatu konsep yang disebut Justice as Fairness. Artinya, keadilan tidak berarti kemerataan absolut dalam sebuah masyarakat dengan cara diratakan oleh otoritas yang berdaulat secara penuh. Keadilan bagi Rawls adalah keadilan yang bijak pada setiap individu dalam kondisi asli manusia  ketika berada dalam satu garis permulaan yang sama dalam sebuah kompetisi. Keadilan yang setara berarti memberikan kesempatan setara pada setiap individu untuk memberikan kualifikasi terbaiknya dalam masyarakat untuk menghasilkan capaian yang terbaik dari sebuah kompetisi.

Affirmative action adalah salah satu cara yang ditawarkan oleh Rawls sebagai bentuk praktis dari pengejawantahan konsep justice as fairness. Affirmative action dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang lebih pada individu-individu dalam masyarakat yang paling tidak diuntungkan dalam struktur sosial, kondisi politik, maupun struktur ekonomi. Contoh sederhana dari affirmative action di Indonesia misalnya dapat dilihat dari penerapan kuota 30%  perempuan di lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPD). Kuota ini memberi kemungkinan lebih pada perempuan untuk dapat terpilih sebagai anggota parlemen. Hal ini dimunculkan akibat adanya kondisi yang memungkinkan sulitnya perempuan untuk terpilih dalam sistem sosial yang masih patriarkis. Contoh lain yang sederhana misalnya pembentukan fasilitas publik yang diperuntukkan untuk kelompok difabel untuk memberikan akses fasilitas publik.

Affirmative Action sebagai bentuk aplikasi dari prinsip pertama dan kedua Justice as Fairness merupakan revisi penting dari perkembangan liberalisme kontemporer. Paradigma mengenai tingkat kebebasan dan hak yang setara yang dikembangkan oleh pemikir liberal sebelumnya direvisi oleh Rawls. Dengan prinsip keadilannya, dia membentuk sebuah konsep dimana dalil utama mengatakan bahwa kaum paling tidak beruntung dalam masyarakat perlu diangkat sedemikian rupa sehingga ada posisi yang setara dalam mencapai kompetisi sosial, politik, dan ekonomi yang adil.

Dalam realitas ekonomi, sosial, dan politik masyarakat Indonesia yang secara kasat mata masih dapat dilihat tengah mengalami ketimpangan. Keseluruhan prinsip Rawls terhadap keadilan secara sederhana sebenarnya dapat menjadi alternatif dalam menciptakan keadilan sosial yang bertujuan untuk mencapai tahap kesejahteraan masyarakat. Tindakan-tindakan pemerintah yang tertuang dalam kebijakan publik sudah seharusnya melihat peluang bahwa penerapan seperangkat konsep keadilan Rawls dapat dilakukan sebagai salah satu pilihan untuk mempercepat upaya pembangunan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan sosial ekonomi misalnya dapat dilaksanakan dengan cara membentuk perencanaan pembangunan kota yang ramah terhadap golongan yang tidak beruntung dalam tata alamiah yang terjadi. Pembangunan kota yang ramah terhadap kaum difabel dapat dilaksanakan dengan memberikan fasilitas khusus di sarana transportasi untuk kaum difabel. Kota yang memiliki akses pejalan kaki yang layak untuk dilalui oleh kursi roda juga menjadi upaya penting untuk menciptakan alternatif ini.

Peradaban timpang adalah istilah metafor yang penulis gunakan untuk menggambarkan ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi dalam beragam masyarakat dunia. Tidak ada seorangpun yang mampu untuk memilih posisinya dalam struktur sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Ketidakberuntungan individu yang disebabkan oleh adanya struktur sosial dan ekonomi perlu diperbaiki sedemikian rupa untuk mencapai keadilan yang terdistribusi dengan baik.

Cara untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi adalah dengan memberikan kesempatan lebih pada orang-orang yang tidak beruntung di berbagai aspek kehidupan tanpa mengurangi kesempatan orang lain. Paksaan otoritas bukanlah metode yang digunakan untuk mencapai kesetaraan. Rawls menawarkan sebuah perangkat dimana upaya distribusi keadilan dilakukan dengan menggunakan asas-asas moral dengan asumsi bahwa individu adalah makhluk yang bermoral.

Apa yang ditawarkan oleh Rawls singkatnya adalah keinginan untuk mencapai kondisi setara pada setiap individu melalui jalan kebebasan dan moralitas politik. Rawls pun menawarkan kembali untuk menggunakan pikiran dan kebajikan sebagai perangkat politik dan ekonomi. Ketimpangan adalah hal yang mutlak terdapat di dunia ini, namun tentu ketimpangan bukan sesuatu yang harus dibiarkan saja dengan mekanisme pasar, tetapi Rawls menawarkan kembali upaya moral yang proaktif untuk mengurangi hal tersebut. Memikirkan kembali manusia sebagai being adalah proyek utama Rawls. Manusia yang dianggap hanya sekedar behave bukanlah suatu jalan yang dapat mengantarkan manusia pada virtue (kebajikan) tertingginya, berupa keadilan.


Penulis: Muhammad Luthfi

Ke Mana Semua Kekuasaan Menghilang ?

Bidang politik pun semakin banya ilmuan yang meng-interprestasikan struktur politik manusia sebagai sistem pemprosesan data. Sebagai mana ...