"Mesin Partai Menjelang Pemilu"
Setiap kali menjelang pemilu partai-partai biasanya mulai menyiapkan mesinnya untuk diperiksa, masih layak atau tidak dan bila ada kerusakan cepat-cepat diperbaiki. Maka dalam pemilu nanti partai yang diibaratkan mobil itu akan dipacu untuk berjalan kencang melalui gerakan mesin. Mobil partai itu harus bersaing dengan mobil-mobil partai lainnya. Bila pacuan mobil yang sesungguhnya mobil yang paling cepat sampai tujuan atau garis finish, itulah mobil yang menang. Tapi dalam pacuan pemilu partai yang menang adalah partai yang paling banyak meraih suara dari rakyat pemilih.
Tentu saja tidak setiap perjalanan mobil partai berjalan lancar. Mobil partai harus melalui jalan-jalan yang tak selamanya mulus, tapi juga penuh tanjakan atau kelokan dan berliku-liku. Kalangan pakar politik menyebutkan antara lain bahwa salah satu faktor penghambat atau pengganggu adalah ketidakamanan situasi. Ketidakamanan itu bisa saja karena adanya gangguan dari pihak-pihak dari luar partai. Bisa saja berasal dari dalam tubuh partai itu sendiri. Seorang pemimpin partai yang mengemudikan kendali atau mesin partai bisa menjadi pengganggu pemilu bila ia mengeluarkan kata-kata kasar dalam pidatonya. Atau kata-kata yang menjurus pada istilah sekarang yakni berbau atau penyalahgunaan isu-isu SARA sehingga mengganggu kontestan-kontestan lainnya. Maka bila situasi demikian yang dihadapi mesin partai akan dikurangi daya pacunya alias melambat, baru dipacu kembali bila situasi sudah tenang kembali.Suatu hal yang perlu disadari oleh partai-partai di Indonesia adalah bahwa mereka hidup dalam suatu negara berkembang bernama Indonesia.
Kehidupan politik atau kepartaian sudah tentu berbeda dengan negara-negara maju atau lebih matang dan mapan kehidupan demokrasinya. Di negara-negara berkembang partai politik, sekalipun memiliki banyak kelemahan, masih tetap dianggap sebagai sarana penting dalam kehidupan politiknya. Usaha melibatkan partai politik dan golongan-golongan politik lainnya dalam proses pembangunan dalam segala aspek dan dimensinya, merupakan hal yang amat utama dalam negeri yang ingin membangun suatu masyarakat atas dasar pemerataan dan keadilan sosial. Jika partai dan golongan-golongan politik lainnya diberi kesempatan untuk berkembang, mungkin ia dapat mencari bentuk partisipasi yang dapat menunjang usaha untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di negara itu. (Prof. Miriam Budiardjo, 2007).
Dengan demikian pemimpin-pemimpin partai hendaknya pandai-pandai memilih mesin partai yang dipakainya agar bisa “pas” dipergunakan dimana perlu dalam melakukan pacuan di jalan-jalan raya politik di negara mana pun.
Demikianlah kita di Indonesia dalam tahun 2018 ini akan mengadakan pilkada serentak untuk 171 daerah, tiga diantaranya akan berlangsung di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat untuk pemililhan gubernur. Yang istimewa adalah rakyat pemilih di ketiga provinsi tersebut mencapai sekitar 50 persen dari seluruh pemilih di Indonesia. Karena itu bisa dimaklumi bila sorotan tajam di arahkan ke ketiga provinsi tersebut, dimana sebagiannya juga melakukan pilkada untuk memilih bupati/wakil bupati dan wali kota/ wakil wali kota. Sehubungan di tahun depan yakni 2019 pemilu akan dilanjutkan dengan pemilu nasional untuk legislatif dan pilpres secara serentak, maka sebagian pengamat menilai bahwa tahun 2018 merupakan pemanasan bagi mesin-mesin partai, sebagai persiapan untuk menghadapi pemilu serentak tahun 2019. Menurut hemat saya, dalam pemilu 2018 mesin-mesin partai bukan lagi sekedar melakukan pemanasan, melainkan telah melakukan langkah “take off”, karena dalam pilkada serentak 2018 banyak kursi kepala daerah yang harus direbut oleh partai-partai dan koalisinya. Jadi dalam tahun 2018 ini partai-partai sudah masuk dalam kancah peperangan di banyak lokasi, guna nanti dilanjutkan atau persiapan menghadapi peperangan dengan skala lebih besar lagi yakni pemilu nasional 2019 itulah. Karena itu amat penting bagi partai-partai untuk menyesuaikan mesin-mesin partainya masing-masing guna disesuaikan dibandingkan dengan pemilu 2018, agar nanti tetap terpakai sebagai mesin-mesin partai yang tetap diandalkan dalam pemilu nasional 2019.
Bagaimana prospek pelaksanaan tahun politik 2018? Berbagai jajak pendapat tingkat nasional yang dilakukan mengumpulkan pendapat bahwa masih dikhawatirkan terganggunya politik dan keamanan, khususnya di beberapa daerah yang sejak awal sudah menunjukkan kerawanan. Bawaslu misalnya mencatat, bahwa dari 171 daerah yang akan menggelar pilkada tahun depan, sebagian besar memang masuk katagori kerawanan rendah. Namun jika dilihat titik-titik wilayah, terlihat potensi kerawanan yang tinggi terekam di sejumlah daerah, seperti Provinsi Papua, Maluku dan Kalimantan Barat. (Kompas, 18/12/17). Sedangkan pemilu 2019 dinilai lebih aman dibandingkan tahun 2018. Ini memberikan petunjuk bahwa pemilu legislatif dinilai akan berlangsung lebih kondusif dibandingkan pilkada serentak. Jadi, pilkada secara umum lebih seru daripada pemilu legislatif, dimana calon kepala daerah yang memang lebih dekat dan dikenal rakyat dibandingkan calon-calon anggota legislatif.
Pemilu 2018 dan pemilu 2019 dari prospek kebangsaan menjadi dua event politik nasional yang harus menjadi kebanggaan bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Itulah pemilu-pemilu terbesar sepanjang sejarah republik ini, bukan tak mungkin terbesar di Asia Tenggara. Diharapkan dengan pemilu-pemilu tersebut menjadikan rakyat Indonesia semakin dewasa dan matang dalam menggunakan hak-hak politiknya. Dari sudut biaya tidak berlebihan bila sebagian kalangan pengamat beranggapan bahwa demokrasi atau pembangunan politik di Indonesia itu super mahal. Bertriliun-triliun rupiah yang harus digelontorkan untuk hajatan politik bernama pemilu dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Itu antara lain karena undang-undang tetap mengamanahkan agar pilkada dan pilpres dilakukan secara langsung, tidak lagi melalui dewan perwakilan (MPR, DPR,DPRD) seperti masa lalu. Meskipun tidak lepas dari skeptipisme, rakyat masih banyak mengharapkan agar dari pemilu-pemilu tersebut terpilih pemimpin-pemimpin bangsa baru, termasuk dari kalangan generasi muda, sebagai negarawan-negarawan yang akan memimpin Indonesia pada masa yang akan datang.
Dalam hubungan ini partai-partai harus selalu memperbaiki dan memperbaharui mesin-mesinnya agar selalu up to date untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan situasi, dimana rakyat semakin tinggi tuntutannya untuk mekanisme politik yang kian demokratis dalam memilih wakil-wakilnya di berbagai lembaga legislatif dan juga eksekutif.
Memang, melakukan pembangunan politik di negara berkembang lebih lamban dari pada di negara maju. Tapi itu masih lebih baik daripada tidak membangun politik sama sekali.
No comments:
Post a Comment
komentar