Search This Blog

Filsafat Manusia (Kajian Filosofis tentang Siapakah Manusia)

SIAPAKAH MANUSIA?

Pendahuluan 

Apakah manusia atau siapakah manusia merupakan misteri yang berusaha untuk disingkapkan oleh manusia dari generasi ke generasi. Ilmu pengetahuan seperti Psikologi, Antropologi, Neurologi dan Biologi mencoba untuk menyingkapkan tabir misteri tersebut, tetapi belum dapat menyingkapkannya secara utuh. Karena masing-masing dari ilmu pengetahuan tersebut hanya meneliti suatu bagian dari seluruh keberadaan manusia, bukan menjadikan seluruh keberadaan manusia sebagai objek studi atau objek penelitian. Psikologi menjadikan perilaku-perilaku manusia sebagai objek studi, Antropologi menjadikan perilaku suatu kelompok manusia atau budaya menjadi objek studi, Neurologi menjadikan fungsi saraf manusia sebagai objek studi dan Biologi menjadikan organ tubuh manusia sebagai objek studi. Sedangkan artikel ini mencoba untuk menyingkapkan misteri tentang ‘siapakah manusia’ secara filosofis atau rasional dengan menjadikan seluruh keberadaan manusia menjadi objek penelitian.

Dengan demikian artikel “Siapakah Manusia?” akan mencoba untuk melakukan kajian hakikat manusia dengan cara sebahai berikut: Pertama, studi kata. Hakikat manusia akan dicari melalui etimologi atau arti kata manusia. Kedua, struktur manusia. Dengan cara mengkaji struktur atau unsur-unsur apa saja yang terdapat pada manusia, maka kita akan menemukan hakikat manusia. Ketiga, kematian manusia. Kehidupan dan kematian merupakan sebuah rangkaian dalam perjalanan sejarah manusia. Dengan memahami hal tersebut, maka kita akan mendapatkan arti dari siapakah manusia itu. Keempat, kesimpulan. Berdasarkan data-data yang di dapatkan, maka artikel ini akan menyusun sebuah definisi tentang siapakah manusia.

Studi Kata “Manusia”

Kata “manusia” atau homo dalam bahasa Latin berasal dari kata humanus yang berarti terpelajar. Kata “manusia” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta “manu” yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Dengan demikian arti kata “manusia” dalam bahasa Indonesia adalah makhluk yang berakal budi dan memiliki kemampuan untuk menguasai makhluk lain. Dikarenakan pembahasan dalam artikel ini tidak membahas manusia sebagai makhluk atau manusia sebagai “yang diciptakan”, sehingga arti kata “manusia” dalam artikel ini disebut sebagai berakal budi dan memiliki kemampuan untuk menguasai dunia materi (segala yang tampak). Alasan untuk tidak menggunakan kata “makhluk” dalam artikel ini adalah karena artikel ini membahas tentang manusia dalam eksistensinya (keberadaannya) secara filosofis bukan manusia dalam seluruh eksistensinya dalam pandangan agama sebagai makhluk ciptaan. Sehingga artikel ini tidak membahas penciptaan manusia dan hubungannya dengan Sang Pencipta menurut pandangan agama monotheis.
Karena berakal budi manusia disebut dalam bahasa latin sebagai homo sapiens, sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi atau dengan kata lain manusia adalah hewan rasional. Akal budi atau intelegensi merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi, belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Intelegensi yang dimiliki oleh manusia memberikannya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya atau memahami eksistensinya serta memberikannya sebuah tujuan dalam hidup ini. Sehingga manusia tidak hanya sekedar exist (ada) di dunia, namun ia memahami dan memiliki sebuah tujuan dalam hidupnya.

Manusia dalam bahasa Arab disebut dengan “insan” yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa. Nasiya memiliki kata dasar al-uns yang berarti jinak. Sehingga kata “insan” berarti memiliki sifat lupa dan jinak yang secara luas memiliki arti bahwa manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru disekitarnya. Kemampuan menyesuaikan diri berhubungan dengan bagaimana manusia mempertahankan hidupnya dengan mengelola dunia materi dimana terdapat hewan, tumbuhan, mineral, dan lain sebagainya yang tersedia di alam ini untuk memenuhi kebutuhannya. Seorang filsuf bernama Karl Marx seperti dikutip oleh Franz Magnis Suseno (Romo Magnis) dalam bukunya yang berjudul Pemikiran Karl Marx(1999) menunjukan perbedaan antara manusia dengan binatang tentang kebutuhannya.Jika binatang langsung menyatu dengan hidupnya, berbeda dengan manusia yang membuat kerja hidupnya menjadi objek kehendak dan kesadarannya. Binatang berproduksi hanya apa yang ia butuhkan secara langsung bagi dirinya dan keturunannya, sedangkan manusia berproduksi secara universal bebas dari kebutuhan fisik, ia baru berproduksi dari yang sesungguhnya dalam kebebasan dari kebutuhannya. Manusia berhadapan bebas dari produksinya dan binatang berproduksi menurut ukuran dan kebutuhan jenis produksinya, manusia berproduksi menurut berbagai jenis dan ukuran dengan objek yang inheren, dikarenakan manusia berproduksi menurut hukum-hukum keindahan.
Manusia dalam bekerja secara bebas dan universal. Bebas dapat bekerja meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung, universal dikarenakan ia dapat memakai beberapa cara untuk tujuan yang sama. Dipihak yang lain ia dapat menghadapi alam tidak hanya dalam kerangka untuk memenuhi salah satu kebutuhan saja. Oleh sebab itu menurut Marx manusia hanya terbuka pada nilai-nilai estetik dan hakekat perbedaan manusia dengan binatang adalah dalam hal pemenuhan kebutuhan. Manusia menemukan kebahagiaannya justru ketika terbebas dari pemenuhan kebutuhan hidupnya, sedangkan binatang tidak dapat terlepas dari pemenuhan kebutuhannya (hidup untuk memenuhi kebutuhan).

Dengan demikian siapakah manusia menurut studi kata “manusia” adalah sebagai berikut: manusia adalah materi-intelegensi atau intelegensi yang berwujud. Kata intelegensi berasal dari kata Latin intusyang berarti ‘dalam’ dan kata legere yang berarti ‘membaca dan menangkap’. Sehingga intelegensi berarti membaca dimensi dalam segala hal dan menangkap artinya yang dalam. Dikarenakan hakikat manusia sebagai materi-intelegensi,  maka kebutuhan manusia untuk bertahan hidup tidak hanya bersifat materi seperti makan, minum, istirahat, dan lain-lain, tetapi juga kebutuhan untuk menghasilkan sesuatu sebagai hasil intelegensinya (berkreasi).

Struktur Manusia

Filsafat sejak jaman Yunani kuno sampai saat ini meyakini bahwa manusia bukan hanya terdiri dari unsur materi atau fisik. Tetapi dalam diri manusia terdapat juga unsur non-materi yang menjadi motor penggerak bagi unsur materi pada manusia. Unsur non-materi inilah yang menjadikan manusia “ada” sebagai pribadi (subjek). Karena jika manusia hanya terdiri dari unsur materi saja, maka ia dinamakan jasad atau telah kehilangan “ada”nya. Demikian juga eksistensi manusia tidak pernah berupa unsur non-materi saja, tanpa unsur materinya. Maka, eksistensi manusia pada hakekatnya niscayaterdiri dari unsur non-materi yang menyatu dengan unsur materi. Berikut penjelasan struktur manusia pada unsur materi dan non-materi:

Unsur materi

Materi atau fisik manusia yang disebut dengan organ tubuh adalah kumpulan yang memiliki peran khusus dan masing-masing memiliki tugasnya sendiri-sendiri yang saling berkaitan satu sama lain. Organ tubuh manusia terdiri dari banyak jaringan, sel, dan jaringan ikat yang membantu dalam mengatur berbagai sistem biologis pada tubuh. Dalam tubuh manusia juga terdapat sistem organ yang melakukan fungsi berbeda-beda,  diantaranya: sistem pencernaan, sistem pernafasan (respirasi), sistem sirkulasi, sistem pengeluaran, sistem gerak, sistem reproduksi, sistem saraf, sistem integumen, dan sistem hormone. Organ tubuh manusia dapat dibagi menjadi kepala, badan, tangan, dan kaki. Kepala memainkan peran utama dalam melindungi organ-organ penting yang ada di dalamnya. Untuk itu unsur materi pada manusia merupakan unsur yang nampak, baik di luar tubuh maupun di dalam tubuh.

Unsur non-materi

Unsur non-materi pada manusia disebut dengan psyche dalam bahasa Yunani atau jiwa dalam bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia online mendefinikan jiwa sebagai berikut: “roh manusia yang ada di dalam tubuh dan menyebabkan seseorang hidup.” Louis Leahy mendefinisikan jiwa sebagai kesatuan substansial. Berikut penjelasan fungsi dan struktur kesatuan substansial manusia: Pertama, kesatuan substansial memiliki kemampuan untuk menyempurnakan dirinya sendiri (autoperfektif). Kedua, kesatuan substansial adalah kesatuan yang dinamis dan yang menstrukturkan, sumber pertama dari aktivitas-aktivitas yang beraneka ragam dan terkoordinir pada setiap manusia. Ketiga, kesatuan substansial merupakan sesuatu yang interiordan natural. Keempat, kesatuan substansial memiliki kesadaran, yaitu sesuatu yang menyebabkan, dalam arti tertentu, bahwa manusia dapat hadir pada dirinya sendiri. Kelima, kesatuan substansialmerupakan dinamisme yang mengakibatkan ia berbuat dan mencoba merealisasikan idenya, adalah sesuatu yang menyangkut subyektifitas.Dengan demikian unsur non-materi pada manusia merupakan unsur yang tidak nampak, namun sangat sentral. Unsur non-materi memberikan keinginan (hasrat) yang menggerakkan manusia untuk melakukan sesuatu, dan melalui apa yang ia (manusia) lakukan terbentuklah jati diri yang menjadikannya unik.

Perpaduan antara unsur materi dan non-materi pada manusia membuatnya dapat beradaptasi dalam dunia materi sehingga dapat mencapai bentuk yang sempurna dalam unsur materi (tubuh yang kuat) dan non-materi (jiwa yang sehat). Berbeda dengan hewan, manusia ketika baru saja dilahirkan sangat lemah dan membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan dunia materi. Tubuh dan jiwa manusia harus melewati suatu proses agar dapat bereksistensi sesuai dengan potensinya. Perpaduan antara kedua unsur tersebut merupakan hakikat dari eksistensi manusia.

Otak hanyalah pusat dari saraf yang terdapat pada seluruh tubuh manusia, tetapi kesatuan substansial yang menstrukturkan dan menggerakannya. Kesatuan substansial tidak dapat menjadi ‘sumber pertama’ dari aktivitas-aktivitas seperti bernafas, bergerak, berasimilasi, berpindah, menikmati kesenangan atau menderita, mendengarkan, belajar, mengambil keputusan, jatuh cinta, bergembira dan berputus asa tanpa tubuh yang menjadi alat untuk mewujudkan aktivitas-aktivitas tersebut.

Kesatuan substansial menjadikan manusia berkehendak dan menyadari secara utuh (melibatkan unsur materi dan non-materi) bahwa ia sedang melakukan aktivitas tertentu. Sehingga perpaduan antara unsur materi dan non-materi pada manusia tidak hanya menjadikan manusia dapat beradaptasi dengan dunia materi dengan mengalami perkembangan menyeluruh dari unsur materi dan non-materinya, tetapi juga menjadikannya sebagai individu yang berkepribadian atau berkarakter melalui aktivitas-aktivitas yang ia lakukan.

Dengan demikian hakikat manusia menurut strukturnya, adalah sebagai berikut: manusia adalah materi yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan dunia disekitarnya dan memiliki kepribadian yang menjadikannya unik atau berbeda dengan materi yang lain.

Kematian Manusia

Kematian adalah akhir dari kehidupan manusia baik melalui proses yang alami ataupun tidak alami seperti kecelakaan. Tanda-tanda kematian menurut Tanatologi (ilmu yang berhubungan dengan kematian) antara lain: lebam mayat (livor mortis), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan, mummifikasi, dan adiposera.
Keenam tanda-tanda kematian yang telah disebutkan tidak ada satupun menyebutkan unsur non-materi pada manusia. Apa yang terjadi pada unsur non-materi (jiwa) manusia ketika mengalami kematian merupakan misteri yang harus disingkapkan. Terdapat 2 (dua) pemahaman tentang hal ini, antara lain: Pertama, setelah kematian tubuh, maka jiwa tetap hidup dalam kekekalan. Plato merupakan salah satu filsuf yang menganut paham ini dengan mempostulatkan dualisme sebagai hakikat manusia. Menurut Plato, manusia memiliki tubuh yang “berubah,” yang tidak terpisahkan dengan dunia indra, dan tunduk pada takdir yang sama seperti segala sesuatu yang ada di dunia ini. 
Semua yang kita indrai didasarkan pada tubuh kita dan karenanya tidak dapat dipercaya. Tetapi manusia memiliki jiwa yang abadi. Plato percaya bahwa jiwa telah ada sebelumia mendiami tubuh, tetapi begitu jiwa bangkit dalam tubuh manusia, ia telah melupakan semua ide-ide yang sempurna dari masa sebelum kelahiran ke dunia. Maka, jiwa mengalami kerinduan untuk kembali pada asal-usulnya yang sejati. Sejak saat itu, tubuh dan seluruh dunia indra dianggap tidak sempurna dan tidak penting. Jiwa rindu untuk terbang pulang dengan sayap-sayap cinta ke dunia ide. Ia ingin dibebaskan dari belenggu tubuh. Sehingga menurut Plato, ketika manusia mengalami kematian tubuh, jiwanya tetap hidup dan kembali kepada dunia ide atau hidup dalam kekekalan.
Kedua, setelah kematian tubuh, jiwa pun mengalami kematian atau akhir dari eksistensi manusia. Paham tersebut dikenal dengan materialisme yang dalam segala bentuk menolak kekekalan jiwa. Demikian pula paham panteisme, seperti dalam ajaran Spinoza dan juga paham idealisme, seperti pada Brunschvicg. Menurut ajaran-ajaran ini, perbedaan antara pribadi-pribadi itu hanya disebabkan oleh kesadaran inderawi. Karena sebuah kematian maka kesadaran itu menghilang, demikian juga kepribadian itu sendiri akan menghilang.

Dari kedua paham tersebut, argumentasi manakah yang lebih mendekati kebenaran atau lebih rasional? Berikut argumen yang dituliskan oleh Louis Leahy perihal keabadian jiwa berdasarkan argumen yang disimpulkan dari etika: argumen ini di mulai dengan kenyataan bahwa orang-orang jujur dan baik sering kali mengalami kemalangan dalam hidup ini; mereka tertimpa kesusahan dan hambatan-hambatan, sedangkan orang-orang jahat, tak jujur, terkadang menikmati kesehatan, kesuksesan, hormat, dan kemakmuran. Dalam inti hati manusia, seolah-olah muncul suatu protes terhadap ide bahwa keadaan “tidak adil” ini tidak akan dapat diperbaiki. Seharusnya ada suatu sanksi untuk hukum moral, tetapi ini tidak mungkin jika tidak ada suatu kehidupan lain sesudah kematian; suatu kehidupan di mana pahala dan hukuman diberikan kepada semua orang sesuai dengan tindakan moral mereka, sebab tuntutan dari etika itu hampir tidak pernah direalisir dalam dunia ini. Brian Hebblethwaite: “Suatu dunia yang teratur untuk mengakibatkan dan mencerminkan nilai-nilai moral akan kurang koheren-konsisten, seandainya nilai moral itu tidak bertahan sesudah kematian individual. Jikalau alam semesta diarahkan ke adanya makhluk-makhluk yang bermoral, maka spirit yang bertanggung jawab akan target ini tak mau bahwa hidup orang-orang kudus dipotong begitu saja. Sekali lagi suatu teleologi (finalitas) kosmis yang memproduksikan cinta, menunjuk lebih jauh dirinya sendiri ke arah penyempurnaan/perwujudan cinta.” Atas dasar etika, maka teori bahwa jiwa manusia tetap hidup setelah mengalami kematian tubuh merupakan teori yang lebih rasional atau mendekati kebenaran.

 Etika secara etimologis berasal dari kata Yunani “ethos”, yang berarti “adat kebiasaan”, “watak”, atau “kelakuan manusia.” Prof. Sudarminta menjelaskan bahwa etika memiliki arti yang lebih luas dari pada itu. Etika mengandung arti: sebuah sistem nilai, sebuah kode etik dalam profesi, dan etika sebagai ilmu yang melakukan refleksi kritis dan sistematis tentang moralitas. Manusia sebagai materi-intelegensi, dituntut untuk mengedepankan etika dalam menghasilkan buah pikirannya. Pentingnya etika dalam eksistensi manusia mengindikasikan bahwa terdapat kehidupan dalam bentuk lain setelah kematian tubuh. Jika tidak, maka etika kehilangan perannya sebagai sebuah sistem nilai yang membatasi manusia dalam berkreasi. Paulus dari Tarsus (3-67M): “Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka ‘marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati.’” Kehidupan setelah kematian tubuh menuntut pertanggungjawaban manusia terhadap apa yang ia lakukan selama hidup. Budaya Yunani meyakini bahwa terdapat dimensi lain dimana jiwa manusia tetap hidup meski tubuhnya telah berhenti bereksistensi. Dunia tersebut dinamakan hades atau tempat tinggal roh orang mati. Dengan demikian unsur non-materi manusia akan tetap hidup dalam dimensi lain di dalam alam semesta ini setelah mengalami kematian tubuh.
Dengan demikian hakikat manusia menurut sifat ketidak-kekalan materi dan kekekalan non-materi adalah sebagai berikut: manusia bereksistensi dan berkarya dengan tubuh materi pada dunia materi, serta tetap bereksistensi dan berkarya menggunakan unsur non-materinya pada dimensi lain dalam kehidupan ini. Sehingga manusia bereksistensi dan berkarya pada kehidupan multi-dimensi.

Kesimpulan
Berdasarkan pengkajian hakikat manusia melalui studi kata, struktur manusia, dan kekekalan unsur non-materinya maka dapat disimpulkan tentang “siapakah manusia?” adalah sebagai berikut: manusia merupakan intelegensi yang beradaptasi dan berkepribadian yang berkreasi pada kehidupan multi-dimensi pada alam semesta ini.

Sumber: (kompasiana.com)

No comments:

Post a Comment

komentar

Ke Mana Semua Kekuasaan Menghilang ?

Bidang politik pun semakin banya ilmuan yang meng-interprestasikan struktur politik manusia sebagai sistem pemprosesan data. Sebagai mana ...