Search This Blog

Hakikat Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan dalam Tinjauan Filsafat Ilmu

Eureka Pendidikan. “Ketahuailah apa yang kamu tahu dan ketahuilah apa yang kamu tidak tahu”, seperti itulah kutipan kata-kata dari seorang filsuf ketika ditanya oleh seseorang mengenai cara untuk mengetahui kebenaran. Sebagaimana yang telah dipahami, pada dasarnya manusia memang selalu identik dengan rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu ini bukan semata-mata tidak memiliki pengaruh pada manusia, melainkan rasa ingin tahu tersebut menjadi langkah awal bagi manusia untuk mengetahui kebenaran. Karena kompleksitas yang ada pada alam semesta ini membuat manusia senantiasa ingin mencari tahu yang sesungguhnya.

Hal-hal yang berkaitan dengan rasa ingin tahu manusia sebenarnya telah banyak dikaji oleh berbagai disiplin ilmu. Kajian tersebut menjadi menarik karena mampu menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Kajian terkait rasa ingin tahu manusia beserta kebenaran yang diharapkan oleh manusia, pada umumnya dibahas dalam pengantar filsafat ilmu. Filsafat ilmu menjadi dasar dalam memahami esensi dari rasa ingin tahu manusia dan kebenaran. Karena sering kali untuk memahami sesuatu terkait tahu dan kebenaran itu dikacaukan oleh terminologi-terminologi yang saling tumpang tindih yang akhirnya menyimpulkan kekacauan dalam mengartikan suatu hal. Sering kali dalam memahami tahu dan kebenaran, terkacaukan pemahaman terkait perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan; bagaimana indikator kebenaran itu. Maka, hal tersebut perlu dipahami secara mendasar agar dalam mengembangkannya tidak terjadi kesalahan secara teoritik.

Pemahaman terkait pengetahuan, ilmu pengetahuan, batasan ilmu pengetahuan menjadi landasan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Karena sebagai akademisi yang identik dengan keilmuan sudah sepatutnya hal paling mendasar tentang ilmu pengetahuan dipahami secara mendasar sebagai acuan dalam pengembangan-pengembangan keilmuan. Terlebih bagi akademisi yang berada di bawah naungan pendidikan tinggi, hal mendasar yang telah dipahami menjadi landasan untuk mengembangkan keilmuan sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuni. Dengan demikian, khasanah bacaan terkait keilmuan bukan lagi bersifat pengawetan sebuah teori melainkan pembaruan-pembaruan yang disesuaikan dengan dinamika kehidupan. Berdasarkan hal tersebut, maka tulisan ini berupaya membahas mengenai hakikat pengetahuan, ilmu pengetahuan, batasan ilmu pengetahuan dan hakikat kebenaran dalam sudut pandang  ilmu.

Hakikat Pengetahuan

Secara biologis manusia memang diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia, karena adanya berbagai kesamaan dengan hewan. Namun, manusia dikatakan memiliki keunggulan terutama pada kecerdasannya. Karena hanya manusialah yang mampu menafsirkan alam semesta beserta interaksi-interaksi yang ada di dalamnya melalui rasa ingin tahu. Banyak ilmuwan yang telah berupaya mengidentifikasi perihal kemamapuan manusia untuk “tahu” ini, contohnya melalui tinjauan otak manusia. Manusia itu mempunyai otak besar serta kulit otak yang paling sempurna tumbuhnnya dan paling banyak berliku-likunya. Ini menyebabkan bahwa ia menjadi suatu ‘binatang berpikir’, sehingga ia membuka kemungkinan-kemungkinan bagi kekuatan berpikir, daya mengangan-angankan, kesadaran dan keinsafan, kemampuan bicara, daya belajar yang sempurna sekali dan daya menggunakan alat. Melalui penerjemahan tentang otak tersebut, ilmuwan mencoba memberikan kesimpulan bahwa rasa ingin tahu manusia dapat ada karena salah satunya didukung oleh fisiologi sel-sel otak manusia. Namun sejauh yang penulis ketahui, belum ada ilmu yang mampu menjelaskan lebih rinci mengenai kemampuan dan mekanisme kerja otak manusia yang dapat berpikir untuk tahu, menganalisis, mengingat, dan berangan-angan. Setidaknya biologi telah berupaya menjelaskan otak manusia tersebut, yang dapat memberikan informasi terkait rasa ingin tahu manusia.

Rasa ingin tahu yang ada pada manusia menjadikan manusia memiliki pengetahuan. Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa inggris yaitu knowledge. Sedangkan secara terminologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui; segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran). Dalam penjelasan lain, pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Melalui dua pengertian di atas, dapatlah dipahami secara sederhana bahwa pengetahuan merupakan segala sesuatu yang manusia ketahui sebagai hasil dari proses mencari tahu. Pengetahuan menjadi sebuah hal yang luar biasa dalam peradaban manusia, karena melalui pengetahuanlah aspek-aspek dalam peradaban manusia berkembang yang kemudian seluruhnya dapat dibedakan berdasarkan ontologi, epistemologi dan aksiologinya.

Agar lebih sederhana dalam memahami pengetahuan ini, maka penulis menganalogikan dengan hal berikut: Anda adalah mahasiswa baru di sebuah Universitas, kemudian Anda ingin mengetahui perpustakaan Universitas tersebut. Oleh karena itu, Anda menanyakan pada seseorang, yang kemudian dengan informasi yang diberikannya Anda akhirnya tahu dan dapat menemukan perpustakaan Universitas. Informasi yang Anda tanyakan tadi akhirnya membantu Anda untuk menemukan perpustakaan Universitas. Informasi tentang perpustakaan Universitas yang baru Anda dapatkan tadi, itulah pengetahuan baru bagi Anda.

Manusia berpengetahuan bukan semata-mata untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya, melainkan memiliki tujuan-tujuan tertentu. Pada masa lalu, manusia berupaya mencari tahu untuk mengetahui suatu hal, umumnya menggunakan cara-cara yang sederhana yakni melalui aktivitasnya dengan alam. Sehingga ia akan menemukan cara hidup yang sesuai dengan alam. Untuk dapat memahami tahapan pengetahuan, secara umum August Comte (1798-1857) membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan manusia dalam tahap religius, metafisik dan positif. Tahapan tersebut jugalah yang ada pada peradaban bangsa Indonesia. Pada tahap pertama, asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Tahap kedua, orang mulai berspekulasi tentang metafisika (kebendaan) ujud yang menjadi objek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) di mana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang objektif.

Berdasarkan tahapan pengetahuan yang telah dikembangkan oleh August Comte, dapatlah dipahami bahwa pengetahuan manusia pada mulanya didasari dengan suatu sikap pasif terhadap alam semesta. Sehingga yang muncul adalah kepatuhan terhadap alam semesta dengan cara memujanya agar kebaikan-kebaikanlah yang didapatkan dari alam. Hal ini dapat diketahui melalui adat-istiadat beberapa masyarakat kita yang masih mengadakan ritual tertentu sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Secara sederhana masyarakat memandang lingkungan sekitarnya penuh dengan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, maka sistem pengetahuannya menyatakan bahwa semua itu adalah karunia sesuatu yang tidak tampak. Akhirnya kekompleksitasan yang ada pada alam semesta menjadikan manusia pada zaman dahulu mencoba menafsirkan alam semesta dengan mengkaitkannya pada wujud dan sifat-sifat manusia. Kemudian termanifestasikanlah ke dalam bentuk para dewa. Karena pada dasarnya, setiap suku bangsa umumnya mempunyai cerita mitos yang merupakan hasil pemikiran masyarakat. Mitos mengandung unsur-unsur simbolik yang mempunyai arti dan pesan bagi hubungan sosial maupun kehidupan sehari-hari masyarakat.

Masyarakat Indonesia juga memiliki mitos sendiri yang berasal dari asimilasi paham animisme dengan paham Hindu dalam tindakan religius orang Jawa, akhirnya melahirkan berbagai bentuk dewa. Dapatlah dianalogikan perkembangan pengetahuan manusia menurut August Comte seperti ini, manusia yang hidup dengan mengandalkan alam seperti pertanian. Sebagai contoh, masyarakat Jawa mempercayai bahwa melimpahnya tanaman yang tumbuh di tanah Jawa sebagai karunia Yang Maha Kuasa, yang diperoleh melalui pengorbanan seorang dewi, yaitu Dewi Sri. Melalui pemahaman akan adanya sosok Dewi Sri tersebut, maka masyarakat menganggap tumbuhan yang melimpah adalah karunia sehingga memerlukan perlakuan yang baik. Maka, untuk menjaga agar tumbuhan tetap dapat tumbuh subur dan menghasilkan panen yang melimpah, masyarakat menggelar ritual untuk “menyenangkan” dan menghormati Sang Dewi. Hal tersebut umumnya diselenggarakan dalam bentuk upacara-upacara pada proses penanaman padi, mulai dari pembenihan hingga panen bahkan ketika terjadi gagal panen.

Oleh karena itu, jika pada suatu waktu padi yang ditanam tiba-tiba menjadi mengering dan tidak memberikan hasil panen yang memuaskan, manusia menyimpulkan bahwa alam telah marah padanya karena kurang dimuliakan maka mulailah mereka kembali memuliakan alam melalui ritual-ritual tertentu. Hal tersebut sebagai manifestasi dari pengetahuan manusia bahwa ada kekuatan di luar diri manusia yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia, maka manusia harus memulikan kekuatan tersebut agar kehidupan manusia dapat terjamin. Setelah itu, pengetahuan manusia terus berkembang, sehingga memandang fenomena tanaman yang tiba-tiba tidak produktif ternyata terjadi secara berkala, yakni pada suatu waktu tertentu. Melalui pengalaman tersebut akhirnya manusia menyimpulkan bahwa bukan semata-mata alam marah jika tanaman tidak berproduksi melainkan hal tersebut terjadi karena suatu hal yang tidak nyata di alam namun memiliki pengaruh pada pertumbuhan tanaman, seperti musim. Akhirnya berdasarkan pengalaman manusia, pengetahuannya menyimpulkan bahwa ketika musim tertentu (kemarau) padi yang ditanam tidak akan membuahkan hasil. Dengan demikian pada tahap pengetahuan yang kedua ini, manusia mulai menafsirkan bahwa alam memiliki siklus musim dan jenis tanaman apa yang dapat ditanam pada musim tertentu. Namun, manusia belum dapat berbuat banyak karena hanya sekedar mengetahui adanya musim pengering. Maka, mereka memulai untuk mengantisipasi ketersediaan air melalui sistem irigasi secara sederhana.

Selanjutnya, di tahap akhir manusia menafsirkan alam berdasarkan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Manusia mencoba menafsirkan mengapa musim kemarau itu dapat terjadi dan pada dewasa ini cenderung tidak dapat terprediksikan. Sehingga seharusnya mereka dapat memanen hasil pertanian namun terkadang gagal panen karena kekeringan yang melanda. Pada tahap selanjutnya inilah, manusia mulai mengenal ilmu pengetahuan maka untuk menafsirkan fenomena alam yang tidak terprediksikan tersebut mulailah manusia meninjaunya secara lebih objektif atau berdasarkan kondisi alam itu sendiri.

sumber: Puspitarahuyuari

No comments:

Post a Comment

komentar

Ke Mana Semua Kekuasaan Menghilang ?

Bidang politik pun semakin banya ilmuan yang meng-interprestasikan struktur politik manusia sebagai sistem pemprosesan data. Sebagai mana ...